Bisa jadi, kematian filsafat Islam lebih merujuk pada ketiadaan pemikiran kritis dan inovatif dalam tradisi filsafat Islam.
Diskusi berakhir seirama dengan reda hujan. Walau begitu, kami tidak langsung beranjak pulang. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk berkeliling Kebun Anggrek Ferry, yang penuh pesona.
Sekitar 100 varian anggrek dari berbagai daerah di Indonesia menghiasi kebun mungil ini. Dari Dendrobium Papua yang anggun, Anggrek Bulai yang unik, hingga Papilionopsis Kalimantan yang menawan, semua terawat dengan penuh kasih sayang oleh Ferry.
Ferry menceritakan kisahnya dalam membangun kebun ini. Ia telah menghabiskan puluhan juta rupiah untuk membeli dan merawat anggrek-anggrek koleksinya. Bahkan, Anggrek Capung Kapuas yang sangat langka dihargai 5 juta per potnya.Â
Setiap tanaman di kebun ini terawat dengan baik. Namun, beberapa di antaranya tetap mati. Fenomena ini menegaskan bahwa meskipun dirawat dengan penuh dedikasi, kematian tetap tak terelakkan.Â
Ada kekuatan lain di luar kendali manusia yang menentukan hidup dan mati.
Hal ini menjadi pembeda antara filsafat Islam dan filsafat Barat. Filsafat Barat, seperti yang disinggung sebelumnya, lebih menekankan pada empirisme dan rasionalitas. Sementara itu, filsafat Islam mengakui adanya kekuatan ilahiah yang berperan dalam kehidupan.Â
Ferry mampu menjelaskan detail tentang beberapa varietas anggrek dengan penuh semangat. Pengetahuannya yang luas dan kecintaannya pada anggrek terlihat jelas dalam setiap penjelasannya.
Menjelajahi Kebun Anggrek Ferry menjadi sebuah penutup yang sempurna untuk hari yang penuh dengan diskusi dan pembelajaran. Pengalaman ini memberikan banyak refleksi filosofis tentang kehidupan, kematian, dan kekuatan ilahiah.Â
Di bio Instagramnya, Ferry mendeskripsikan dirinya sebagai Filsuf dan Sosiolog. Gelar Sarjana Sosiologi Agama yang ia sandang menjadi landasan pengetahuannya.