"Setiap orang ingin kembali (pulang), sayangnya tidak semua orang punya rumah untuk pulang." (halaman 37).
Kumcer Mereka yang (Enggan) Pulang setebal 63 halaman ini bukan hanya kisah tentang kerinduan akan kampung halaman, tapi juga mengangkat berbagai isu penting yang dihadapi perempuan dan masyarakat modern.
Salah satu isu penting yang diangkat dalam Mereka yang (Enggan) Pulang yang diterbitkan oleh Ellunar Publisher ini adalah stigma pendidikan tinggi bagi perempuan.Â
Cerpen "Enggan" menggambarkan realitas pahit yang dihadapi perempuan dengan pendidikan tinggi, di mana mereka sering kali dihadapkan pada stigma dari keluarga dan masyarakat.
Seperti yang dialami Amara, ia harus menerima kenyataan bahwa Abak (panggilan ayah oleh orang Minang) menentang keras pendidikannya.Â
Abak beranggapan bahwa perempuan tidak perlu pendidikan tinggi dan cukup belajar memasak dan menghormati laki-laki. Kata-katanya yang menusuk, "Kau di rumah saja, lalu belajar memasak dan menghormati laki-laki. Terlalu tinggi pendidikan, maka laki-laki akan takut mendekat." (halaman 14), mencerminkan stigma yang masih melekat pada perempuan di beberapa kalangan masyarakat.
Perempuan dengan pendidikan tinggi sering kali dianggap sebagai "perempuan yang sok pintar" dan "tidak bisa diatur".Â
"Itulah kau, Ratih. Tidak jaga penampilan, rambut macam laki-laki. Sudah kukatakan pada Amakmu itu. Perempuan sekolah tinggi dan kelewat mandiri. Laki-laki pun takut hendak dekat-dekat," celetuk salah seorang tetangga.
Tidak hanya mengangkat isu stigma pendidikan tinggi bagi perempuan, tetapi juga dilema perempuan belum menikah. Cerpen "Kembali" menghadirkan kisah Ratih yang dihadapkan pada tekanan sosial untuk segera menikah.
Seperti yang dikatakan oleh Amak, "Dengan kau dilangkahi menikah oleh Ratna, rasanya aku sudah malu. Apalagi kalau kau tidak pulang. Apa kata orang kampung?" (halaman 29).
Kumcer Mereka yang (Enggan) Pulang bagaikan sebuah kotak harta karun yang menyimpan berbagai tema menarik untuk digali.