Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kumpulan Cerpen Mereka yang (Enggan) Pulang: Bebas dari Belenggu Masa Lalu & Stigma Perempuan

13 Februari 2024   10:54 Diperbarui: 13 Februari 2024   10:59 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumcer Mereka yang (Enggan) Pulang. Foto: Dokumentasi Nur

Pernahkah kamu terjebak dalam lingkaran kecemasan, ketakutan, dan bayang-bayang kegagalan masa lalu? Rasanya seperti terbebani ransel penuh batu yang kian lama kian berat, bukan? 

Tenang, kamu tidak sendirian! 

Banyak orang terbelenggu oleh masa lalu. Kabar baiknya, ada cara untuk melepaskan beban itu: MENULIS. 

Sekira pukul 00.43 WIB, aku menyelesaikan bacaan Mereka yang (Enggan) Pulang, kumpulan cerpen karya karibku, Aisyah Nursyamsi. Sosok yang tak hanya teman, tapi juga guruku dalam dunia kepenulisan. 

Beberapa jenak, aku menduga Aisyah wasis dalam menggurat pengalamannya yang kadang menyakitkan dalam kumpulan cerpen ini.

Aisyah memiliki kemampuan magis buat mata pembaca sepertiku nyalang. Bagaimana tidak, cerpen-cerpennya bagaikan cermin yang memantulkan pengalaman pribadiku yang terdalam, terkadang buat lidahku mengulum kelu.

Bagian pertama "Pulang" menamparku dengan realita pahit: terjebak di kota, terlilit hutang, dan tertekan oleh hidup yang membuat otak bergelegak. Rindu pada kampung halaman namun masih belum bisa pulang, karena "belum jadi orang."

Seperti Syam, protagonis cerita ini, aku pun merasakan dilema serupa. Hampir delapan tahun merantau di Yogyakarta, aku tersesat dalam lautan "kesibukan," atau paling tidak mengklaim diri sibuk sampai-sampai aku lupa apa arti "pulang."

Lebih-lebih lagi, kalimat Kang Efendi yang bikin semaput: "Berdamailah, Syam. Kita tidak pernah tahu siapa, kapan yang ingin Tuhan ajak bertemu lebih dulu." (halaman 5). 

Sebuah alarm bahwa hidup ini singkat dan tak terduga sehingga jangan sia-siakan orang yang kamu sayangi selagi mulut mereka masih berkecap-kecap bahkan sesekali bernada tinggi.

Setiap halaman dalam cerpen ini bagaikan terapi penyembuhan, tak hanya bagi Aisyah sebagai penulis, tapi juga bagiku (dan mungkin juga bagimu) sebagai pembaca. Kalimat-kalimatnya menusuk relung jiwa, mengantarkan kita pada petala refleksi diri yang mendalam.

"Setiap orang ingin kembali (pulang), sayangnya tidak semua orang punya rumah untuk pulang." (halaman 37).

Kumcer Mereka yang (Enggan) Pulang setebal 63 halaman ini bukan hanya kisah tentang kerinduan akan kampung halaman, tapi juga mengangkat berbagai isu penting yang dihadapi perempuan dan masyarakat modern.

Salah satu isu penting yang diangkat dalam Mereka yang (Enggan) Pulang yang diterbitkan oleh Ellunar Publisher ini adalah stigma pendidikan tinggi bagi perempuan. 

Cerpen "Enggan" menggambarkan realitas pahit yang dihadapi perempuan dengan pendidikan tinggi, di mana mereka sering kali dihadapkan pada stigma dari keluarga dan masyarakat.

Seperti yang dialami Amara, ia harus menerima kenyataan bahwa Abak (panggilan ayah oleh orang Minang) menentang keras pendidikannya. 

Abak beranggapan bahwa perempuan tidak perlu pendidikan tinggi dan cukup belajar memasak dan menghormati laki-laki. Kata-katanya yang menusuk, "Kau di rumah saja, lalu belajar memasak dan menghormati laki-laki. Terlalu tinggi pendidikan, maka laki-laki akan takut mendekat." (halaman 14), mencerminkan stigma yang masih melekat pada perempuan di beberapa kalangan masyarakat.

Perempuan dengan pendidikan tinggi sering kali dianggap sebagai "perempuan yang sok pintar" dan "tidak bisa diatur". 

"Itulah kau, Ratih. Tidak jaga penampilan, rambut macam laki-laki. Sudah kukatakan pada Amakmu itu. Perempuan sekolah tinggi dan kelewat mandiri. Laki-laki pun takut hendak dekat-dekat," celetuk salah seorang tetangga.

Tidak hanya mengangkat isu stigma pendidikan tinggi bagi perempuan, tetapi juga dilema perempuan belum menikah. Cerpen "Kembali" menghadirkan kisah Ratih yang dihadapkan pada tekanan sosial untuk segera menikah.

Seperti yang dikatakan oleh Amak, "Dengan kau dilangkahi menikah oleh Ratna, rasanya aku sudah malu. Apalagi kalau kau tidak pulang. Apa kata orang kampung?" (halaman 29).

Kumcer Mereka yang (Enggan) Pulang bagaikan sebuah kotak harta karun yang menyimpan berbagai tema menarik untuk digali.

Selain stigma pendidikan tinggi bagi perempuan dan dilema perempuan belum menikah, kamu juga akan menemukan kisah generasi sandwich yang terjepit oleh berbagai tanggung jawab, dilema pasangan suami istri dalam memutuskan untuk memiliki anak, hingga gambaran kerasnya kehidupan masyarakat yang terbelenggu oleh kemiskinan.

Dan masih banyak lagi tema menarik lainnya. Aku tidak ingin membocorkan terlalu banyak agar kamu dapat merasakan sendiri sensasi menyelami setiap cerita dalam kumcer ini.

Meskipun begitu, kumpulan cerpen ini bukan tanpa cela. Menurutku, beberapa alur ceritanya terasa terlalu klise atau mudah ditebak, bahkan beberapa cerita memiliki kemiripan. Hal ini mungkin karena karya ini merupakan refleksi pribadi Aisyah yang ingin mengkritik budayanya.

Kumcer Mereka yang (Enggan) Pulang. Foto: Dokumentasi Pribadi
Kumcer Mereka yang (Enggan) Pulang. Foto: Dokumentasi Pribadi
 

Pernahkah kamu merasa terjebak dalam kecemasan, ketakutan, dan bayang-bayang kegagalan masa lalu?

Apakah kamu ingin melepaskan beban itu dan menemukan kedamaian? Jika ya, bacalah Mereka yang (Enggan) Pulang! Kemudian menulislah, karena seperti yang dikatakan Aisyah sendiri, menulis bisa jadi semacam metode penyembuhan [mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun