Setelah tidak lagi menjadi menteri, Rizal Ramli mendapatkan kepercayaan beberapa kali sebagai komisaris di perusahaan milik negara (BUMN), termasuk di antaranya PT Semen Gresik dan BNI.
Karir pemerintahannya sempat terhenti pada era Presiden SBY, namun Rizal Ramli kembali masuk ke pemerintahan saat masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama.
Meskipun menduduki kursi pemerintahan, suara Rizal Ramli tetap lantang. Salah satu contoh kritik yang sangat terkenal adalah saat ia mengecam kebijakan privatisasi BUMN, dengan keyakinan bahwa langkah tersebut tidak memberikan keuntungan kepada rakyat Indonesia.
Selama masa jabatannya, Rizal Ramli terus mengungkapkan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah, termasuk evaluasinya terhadap kebijakan pembangunan infrastruktur yang dianggapnya terlalu mahal dan tidak efisien.
Sikap Rizal tersebut menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang memiliki integritas dan keberanian yang tinggi. Ia tidak takut untuk menyuarakan kritik, bahkan ketika berada di dalam lingkaran kekuasaan.Â
Seolah melanggar ajaran Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa kekuasaan dapat menguji karakter seseorang, Rizal Ramli menunjukkan bahwa bagi dirinya, kekuasaan tidak mampu merubah esensi karakter.Â
Ia tetap mempertahankan kepribadian yang berani dan kritis, bahkan ketika menduduki posisi di dalam lingkaran kekuasaan.Â
Tokoh ekonomi senior sekaligus politisi itu kini telah berpulang pada Selasa (2/1) pukul 19.30 WIB di RS Cipto Mangunkusumo. Berita kepergiannya pun menghiasi beranda gawai saya.
Informasi kepergian Rizal membuat saya teringat ungkapan Coki Pardede, "Jangan korbankan kemajuan peradaban manusia hanya demi perasaan kita." Saya bertanya-tanya, mengapa pejabat kita selalu sensitif terhadap kritik? Bukankah justru kritik dapat membantu mereka memperbaiki kinerja?
Alih-alih memperbaiki kinerja, kenyataannya, kritik sering kali ditanggapi dengan defensif dan mempermasalahkan cara mengkritik yang dianggap kurang santun, provokatif, atau keluar dari konteks.Â