Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengalaman Menulis Untuk Uang, Gugup dan Hampa

19 Oktober 2023   08:42 Diperbarui: 19 Oktober 2023   18:18 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama penjurian WJES. Foto: Dok Bank Indonesia Jawa Barat 

"Menulis itu seperti seks. Pertama, kamu melakukannya demi cinta, lalu kamu melakukannya untuk temanmu, dan kemudian kamu melakukannya untuk uang."

Saya tergelitik ketika pertama kali mendengar kalimat dari Virginia Woolf di atas. 

Ini relate dengan apa yang saya alami. Sejak dulu, saya berkomitmen untuk tidak menulis untuk uang, paling tidak itu dapat menghindari saya dari godaan joki (skripsi) seperti yang bertebaran di persimpangan jalan.

Namun terkadang, ketika dalam masa-masa sulit, sebagaimana saat harus membayar hutang dan iuran bulanan indekos, saya tergoda juga untuk "menjual diri" dengan kemampuan menulis yang terbatas. 

Saya enggak tau apakah sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut, Virginia Woolf pernah hidup dalam masa-masa sulit secara ekonomi.

Tidak ada yang salah ketika seseorang mencari peruntungan dengan jalan menulis. Itu sah dari sudut pandang apa pun. Ketika menjadi profesi, menulis adalah tugas yang mulia, yang merekam jejak peradaban manusia. 

Paling tidak, ketika manusia punah karena sibuk bertengkar sesamanya, ada rekaman sejarah yang pernah ditulis oleh makhluk hidup bernama manusia.

Kembali kepada diri saya, ketika 'menjual diri' dengan jalan menulis, saya merasa gugup dan terasa hampa. Saya merasa bingung, dan pikiran saya kacau.

Misalnya, ketika mencoba mengikuti perlombaan menulis, saya tidak tahu mengapa otak saya seperti membeku. Saya benar-benar tidak tahu harus menulis apa.
Di sinilah saya menyadari satu hal, bahwa tulisan saya masih kurang berkualitas, jelek. Itulah mengapa jarang sekali tulisan saya mejeng sebagai juara di event menulis yang diadakan oleh Kompasiana. 

Meskipun ada yang mengatakan, "sejelek-jeleknya tulisan, adalah sekuat-kuatnya ingatan."

Jadi saya perlu mengingat-ingat, kapan Kompasiana buat event lomba menulis lagi?

Penjurian West Java Economic Society (WJES) Call for Recomendative Paper 2023. Foto: Cyrilus Aghista
Penjurian West Java Economic Society (WJES) Call for Recomendative Paper 2023. Foto: Cyrilus Aghista

Ceritanya, beberapa bulan lalu, saya mengirim paper untuk program West Java Economic Society (WJES) Call for Recomendative Paper 2023 yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Jawa Barat bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jawa Barat.

Dari sekitar 145 makalah yang diajukan, sebanyak 20 di antaranya terpilih sebagai finalis untuk dipresentasikan di Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jawa Barat. 

Saya merasa bersyukur dan mengucapkan alhamdulillah karena saya termasuk salah satu dari 20 finalis tersebut.

Ketika saya mengetahui bahwa para juri adalah para profesor ekonomi, saya merasa panik dan seketika rasa blank melanda. Apalagi melihat researcher lain, yang terdiri dari para peneliti kompeten, dosen, atau asisten dosen, bahkan ada yang sudah pernah memenangkan kompetisi sebelumnya. 

Beberapa dari mereka bahkan memiliki akses ke data yang sulit ditemukan.

Ketika tiba saatnya untuk presentasi, saya merasa bingung dengan apa yang saya sampaikan. Kepanikan ini bahkan dikonfirmasi oleh salah satu profesor yang menjadi juri, yang dengan jujur mengatakan, "Saya bingung dengan apa yang saudara paparkan, saya enggak nangkep."

Beruntung, moderator menyemangati saya dengan kata-kata yang penuh semangat, "Semoga ini menjadi pengalaman berharga untuk Anda, dan semoga ke depan Anda bisa belajar menjadi peneliti yang lebih baik." 

Kata-kata semangat seperti itu dapat memberikan dorongan dan inspirasi untuk terus berkembang dalam karier penelitian saya.

Namun, saya juga turut merenung bahwa soal menang kalah dalam penjurian sebuah tulisan adalah soal selera para juri. Menurut saya, sebagus-bagusnya tulisan, pasti ada yang menilainya jelek, dan sejelek-jeleknya tulisan, pasti ada yang bilang bagus. 

Yang jelas dan paling jelek adalah tidak menulis.

Karena itu, mulai hari ini saya juga merevisi ideologi saya, bahwa saya boleh menulis untuk uang, agar tidak gagap ketika ditagih utang, bisa merasa tenang saat jatuh tempo kosan, atau paling tidak bisa mengeluarkan uang saat dibutuhkan.

Di sisi lain, dengan menulis, saya telah merasakan banyak privilege yang jarang anak kampung seperti saya dapatkan. Seperti ungkapan Imam Al-Ghazali, "Kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis."

Terima kasih telah membaca cerita saya. Semoga kita semua dapat saling belajar dalam menulis dan merekam kehidupan [mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun