"Menulis itu seperti seks. Pertama, kamu melakukannya demi cinta, lalu kamu melakukannya untuk temanmu, dan kemudian kamu melakukannya untuk uang."
Saya tergelitik ketika pertama kali mendengar kalimat dari Virginia Woolf di atas.
Ini relate dengan apa yang saya alami. Sejak dulu, saya berkomitmen untuk tidak menulis untuk uang, paling tidak itu dapat menghindari saya dari godaan joki (skripsi) seperti yang bertebaran di persimpangan jalan.
Namun terkadang, ketika dalam masa-masa sulit, sebagaimana saat harus membayar hutang dan iuran bulanan indekos, saya tergoda juga untuk "menjual diri" dengan kemampuan menulis yang terbatas.
Saya enggak tau apakah sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut, Virginia Woolf pernah hidup dalam masa-masa sulit secara ekonomi.
Tidak ada yang salah ketika seseorang mencari peruntungan dengan jalan menulis. Itu sah dari sudut pandang apa pun. Ketika menjadi profesi, menulis adalah tugas yang mulia, yang merekam jejak peradaban manusia.
Paling tidak, ketika manusia punah karena sibuk bertengkar sesamanya, ada rekaman sejarah yang pernah ditulis oleh makhluk hidup bernama manusia.
Kembali kepada diri saya, ketika 'menjual diri' dengan jalan menulis, saya merasa gugup dan terasa hampa. Saya merasa bingung, dan pikiran saya kacau.
Di sinilah saya menyadari satu hal, bahwa tulisan saya masih kurang berkualitas, jelek. Itulah mengapa jarang sekali tulisan saya mejeng sebagai juara di event menulis yang diadakan oleh Kompasiana.
Meskipun ada yang mengatakan, "sejelek-jeleknya tulisan, adalah sekuat-kuatnya ingatan."