Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

"Burmese Days", Novel George Orwell yang Masih Relevan hingga Saat Ini

21 September 2023   23:29 Diperbarui: 24 September 2023   12:16 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Rekomendasi Buku. (KucherAV via kompas.com)

U Pyo Kin adalah contoh nyata pelaku korupsi dan ketidakadilan, penyuapan, yang sering kamu lihat di negara-negara berkembang, seperti Konoha. 

Dan karakternya terasa cukup relevan dengan apa yang terjadi saat ini, yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang saya maksudkan dengan salah satu kelihaian tingkat tinggi Orwell di muka artikel.

Emosi kita diaduk-aduk saat membaca bab demi bab dalam novel ini, membangkitkan perasaan marah, sedih, dan harap-harap cemas. Orwell menggunakan bahasa yang lugas, vulgar, kasar, dan terkadang santai untuk menggambarkan realitas imperialisme dan rasisme.

Wanita, misalnya, sering digambarkan memiliki status yang setara dengan hewan pengerat atau katak. Di sinilah kecemerlangan Orwell; meskipun bahasa yang digunakan bisa dikategorikan kasar dan vulgar, namun di ujung pena Orwell menjadi sesuatu yang sangat indah ketika dibaca.


Hal inilah yang membuat M. Febi Anggara tergelitik setelah membaca karya-karya Orwell. Dalam diskusi Klub Buku Main-Main minggu ke-67 pada Senin, 18 September 2023 lalu, ia melontarkan pertanyaan: "Mengapa Orwell menulis dengan cara seperti itu?"

"Saya tidak memiliki jawaban pasti untuk itu, tapi saya punya hipotesis," jawab Yosi Sulastri, pemantik diskusi kali ini. "Saya berhipotesis Orwell, menulis seperti itu, untuk menggambarkan situasi di Burma dengan cara yang lugas dan otentik, tidak dibuat-buat, berdasarkan pengalamannya sendiri selama lima tahun menjadi polisi di sana."

Esai Orwell yang berjudul Why I Write, mungkin dapat memberikan beberapa wawasan dan petunjuk tentang motivasinya untuk menulis dengan cara tersebut.

Bagi Orwell, politik dan karya sastranya tidak dapat dipisahkan, dan bahkan memilih untuk tidak berpolitik pun merupakan sebuah pilihan politik.

"Menurut Orwell, sastra adalah politik. Mungkin bagi kita, kata-kata yang ia gunakan terlihat kasar dan vulgar, tapi itu semua adalah politik - sebuah cara untuk menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap penindasan," ujar Firdaus, salah satu peserta diskusi lain.

Oleh karena itu, Orwell menulis Burmese Days dengan cara ini karena ia ingin menggambarkan secara visual dan berdasarkan keadaan sesungguhnya kondisi di Burma berdasarkan apa yang ia lihat dan rasakan.

Dia bertujuan untuk menggunakan tulisannya sebagai alat untuk mempengaruhi dunia dan menjadikannya tempat yang lebih baik, mengadvokasi cinta, pemberantasan rasisme, dan anti-imperialisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun