Misalnya, kalau ada musala yang sempit di sebuah kafe, lalu kamu salat dan memperpanjang zikir itu tidak makruf, karena buat orang lain tidak bisa salat yang sifatnya wajib. Jadi halalan tayyiban wa makrufan mengantarkan kita untuk menjadi manusia paripurna (insan kamil).
Begitu sadar kita harus menggunakan akal budi dan hati nurani (halalan tayyiban wa makrufan), kita lahir sebagai makhluk intelektual.
Jika sudah begitu, kita akan lahir sebagai makhluk spiritual menjadi khalifah fil ardh (فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً) yang tugasnya menunjukkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi.
Pada tahap tertinggi, inilah yang disebut dengan kebijaksanaan atau hikmah (حكمة), manusia bijaksana dapat hidup melampaui umur kita. Ambil contoh Gus Dur; meski sudah wafat, kotak amalnya itu ratusan juta setiap bulan. Dimana kebanyakan manusia yang masih hidup belum tentu dapat melakukannya.
Ketika kita mencapai tahap itu, kita akan kembali kepada Allah sebagai jiwa yang tenang, an nafsul mutmainnah (النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُۙ). Semoga buku ini dapat menemani kita dalam perjalanan meraih semua itu.
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H