Karena itu, buku Menyiasati Sesat Pikir ini mengajak kita untuk mengkritisi cara berpikir kita, baik secara pribadi maupun kolektif sebagai umat Muslim.
"Saya menegaskan ya, Al-Quran itu dari Allah, enggak mungkin ada sesat pikir dalam Al-Quran, mahasuci Allah dari sesat berfikir atau mengajak kita untuk sesat berfikir," tegas Nur.
"Tapi tafsir itu dari mana? Dari manusia. Dan manusia apakah mungkin sesat berfikir? Ya mungkin sekali, apalagi dalam isu perempuan," lanjutnya.
Untuk memperkuat argumentasinya, Nur menyoroti dua teori yang dibahas dalam buku ini. Pertama adalah Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory/CDT) yang diperkenalkan oleh Leon Festinger.
Hal ini dapat dikaitkan dengan jebakan pemikiran yang sering terjadi dalam penafsiran Al-Quran yang bias gender. Ketika ada yang menafsirkan Al-Quran dari perspektif keadilan gender (keadilan bagi laki-laki dan perempuan), laki-laki mungkin mengalami disonansi kognitif dan takut bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran Allah.
Padahal, yang digugat adalah penafsiran yang selama ini lebih banyak disuarakan oleh laki-laki, yang membuat perempuan rentan terhadap stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan.
Teori kedua adalah teori Bias Blind Spot yang diperkenalkan oleh Emily Pronin. Teori ini menyatakan bahwa ketika kita mengkritik orang lain, kita juga harus mengkritik diri kita sendiri agar tidak terjerumus ke dalam kekeliruan logika.
Hal ini dilakukan dengan cara mengenali cara berpikir kita, mengenali jebakan-jebakan pemikiran yang keliru, dan kemudian mengembangkannya menjadi sesuatu yang produktif untuk maslahah (المصلØØ©).
Setiap orang diberi akal budi, sekali lagi, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, tidak semua orang menggunakan akal budi dengan baik sehingga tindakannya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Selain akal budi, sebagai manusia, kita dikaruniai hati nurani. Hati nurani ini selalu berbicara tentang maslahah semua orang. Tidak hanya berbicara soal halal, tapi juga baik. Apakah sesuatu itu halal? Harus halal. Apakah sesuatu yang halal itu sudah pasti baik? Belum tentu.
Nanti dalam konteks perempuan lebih-lebih lagi. Ada banyak hal yang baik buat laki-laki tapi buat perempuan tidak. Halalan tayyiban itu berkaitan dengan nurani, berkaitan dengan simpati, berkaitan dengan roso (kepantasan), makrufan (urf) sesuatu yang pantas secara sosial, ada hal baik tapi tidak pantas secara sosial, banyak sekali.