Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Cinta yang Tak Terdefinisikan: Perjalanan Amba dalam Novel Mengesankan Karya Laksmi Pamuntjak

25 Juli 2023   16:51 Diperbarui: 25 Juli 2023   17:00 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat kutipan menarik dari salah satu tokoh Sufi terkemuka, Jalaluddin Rumi, dalam sajak terkenalnya: Dengan hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam apapun kecuali cinta.  

Karena itu, saya sepakat dengan banyak orang yang percaya bahwa "cinta" adalah kosakata tanpa antonim. 

Perasaan cinta tidak bisa didefinisikan hanya dengan kata-kata. Jika bisa didefinisikan, maka itu bukanlah cinta, melainkan sebuah perhitungan atau kalkulasi.

Perasaan inilah yang dirasakan oleh Amba Kinanti pada Bhisma dalam novel The Question of Red, atau edisi Bahasa Indonesia berjudul Amba: sebuah novel karya Laksmi Pamuntjak.

Ketika bertemu dengan Bhisma Rasyad, Amba mengalami perubahan besar. Ia menjadi cemburuan dan sepenuhnya berbeda dari dirinya sebelumnya, yang dulu mandiri dan punya pemikiran jauh ke depan.

Setelah mengenal Bhisma, ia mulai merasa inscure. 

Padahal pada usia 18 tahun, Amba sama sekali tidak memikirkan pernikahan; sebaliknya, ia bertekad untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. 

Memang ada faktor bahwa Amba adalah putri seorang guru di sebuah kota kecil bernama Kadipura di Jawa Tengah, Indonesia. 

Di sisi lain, membaca sejarah bisa menjadi melelahkan bagi mereka yang sama sekali tidak tertarik padanya. Namun, siapa yang bisa menolak daya tarik sebuah cerita sejarah yang dipadukan dengan kisah cinta? 

Sama seperti Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yang begitu dikagumi oleh banyak orang, baik dalam bentuk buku maupun film. Hal yang sama berlaku untuk novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.

Perbedaannya adalah, Tetralogi Pulau Buru menggunakan adegan percintaan untuk mengantarkan kita pada isu-isu dan perjuangan yang lebih dalam yang ingin dikampanyekan oleh Pramoedya, sementara novel Amba hampir sepenuhnya berkisah tentang perjuangan cinta.  

Namun demikian, novel ini tidak bisa dianggap novel-novelan; bahkan, Goenawan Mohamad, seorang tokoh sastra, menempatkan novel Amba satu tingkat di bawah Tetralogi Pulau Buru.

Hal ini dibuktikan dengan, begitu tersohornya karya Laksmi ini, tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain. 

Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul Alle Farben Rot. Selain bahasa Jerman, Amba juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Amba of de kleur van rood.  

Karena itu, tidak heran bahwa novel Amba menerima penghargaan sastra LiBeraturpreis 2016, yang digagas oleh Litprom, sebuah lembaga sastra berbasis di Jerman.

Dalam penghargaan ini, Laksmi bersaing dengan Marguerite Abouet, seorang penulis dari Afrika, Najet Adouani, seorang penulis dari Tunisia, Maria Sonia Cristoff, seorang penulis dari Argentina, Ayelet Gundar-Goshen, seorang penulis dari Israel, dan Antjie Krog, juga seorang penulis dari Afrika.

Semuanya adalah penulis perempuan berpengaruh di negaranya masing-masing.

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah kehadiran cuplikan dari epik Mahabharata yang muncul di setiap transisi "buku"-nya.

Nama-nama karakter memang diambil dari cerita wayang tradisional Jawa, dan penulis memulai setiap "buku" dengan kutipan dari kitab aslinya. 

Berdasarkan penelusuran saya, Laksmi melakukan penelitian selama 10 tahun, mengunjungi lokasi secara langsung, dan melakukan wawancara dengan berbagai sumber sebagai bagian dari materi untuk menulis novel ini. 

Cinta memang telah mengubah kepribadian Amba, dan telah mengoyak-oyak hati dan perasaan Nurrahmawati, pemantik diskusi diskusi bertajuk Perjuangan dan Cinta dalam Novel 'Amba' Karya Laksmi Pamuntjak yang berlangsung pada hari Senin, 24 Juli 2023 lalu, di Kineta Coffee & Public Sphere.  


Namun demikian, cinta dan seksualitas adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat dipertukarkan. Cinta memiliki sifat spiritual dan rohaniah, sedangkan seksualitas adalah kebutuhan tubuh bagi makhluk hidup untuk berkembang biak. 

Saya sendiri masih menentang istilah "bercinta" pada aktivitas seksual, yang menurut pandangan saya, hanyalah sebuah aktivitas keintiman, bukan sepenuhnya didasarkan pada cinta.

Sangat masuk akal untuk percaya bahwa Laksmi menulis novel ini juga berdasarkan cinta, baik cinta untuk perempuan dan perjuangan mereka atas hak-hak yang terus-menerus ditindas, maupun cinta untuk bangsa dan rakyat Indonesia yang telah diperlakukan tidak adil oleh negara.  

Hal ini ditunjukkan oleh upaya Laksmi Pamuntjak untuk merenungkan tragedi 1965 dengan menggunakannya sebagai latar belakang sejarah untuk novelnya. 

Sesuai dengan analisis Antonius Hendrianto dalam artikelnya Refleksi Tragedi 1965 dalam Novel 'Amba' Karya Laksmi Pamuntjak, Laksmi menggunakan karakter-karakter dari cerita Mahabharata untuk menyuarakan kebutuhan akan penebusan atas kesalahan-kesalahan masa lalu yang dilakukan selama pembantaian massal setelah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) dan pengasingan tahanan politik ke Pulau Buru.

Meskipun merupakan karya fiksi, novel ini dengan jelas menyoroti perspektif lain dari peristiwa sejarah tersebut.  

Sesuai dengan judulnya dalam edisi Bahasa Indonesia, tokoh utamanya adalah Amba, seorang wanita tangguh, cerdas, dan mandiri. 

Ada juga karakter bernama Bhisma, yang menjadi satu-satunya cinta Amba. Mereka saling jatuh cinta ketika Amba bekerja di Kediri.

Sayangnya, Bhisma diasingkan ke Pulau Buru sebagai tahanan politik setelah peristiwa G30S dan tidak pernah kembali.  

Karakter laki-laki lainnya adalah Adalhard, keturunan orang Jerman yang membantu Amba ketika dia bingung mencari Bhisma. Ada pula Salwani Munir (Salwa) dan Samuel sebagai pelengkap cerita. 

Dalam diskusi buku kali ini, kami juga membicarakan mengapa karya sastra hebat selalu memiliki sentuhan roman di dalamnya. 

Karena cinta tidak bisa didefinisikan secara baku, ia bisa masuk ke setiap kondisi bahkan imajinasi penulis, termasuk juga Laksmi yang memiliki jiwa penuh cinta.

Jika kita menganalogikan dengan tubuh, cinta adalah jiwa, sementara kepala dapat dianalogikan dengan keluarga, tangan dengan agama, dan kaki dengan masyarakat. Jika salah satunya hilang, kita akan menghadapi kesulitan dalam hidup, apalagi jika jiwa yang hilang.  

Itulah sebabnya cinta seperti jiwa; tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan. Tidak bisa disentuh, tetapi bisa dijadikan pegangan.

***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun