Namun demikian, novel ini tidak bisa dianggap novel-novelan; bahkan, Goenawan Mohamad, seorang tokoh sastra, menempatkan novel Amba satu tingkat di bawah Tetralogi Pulau Buru.
Hal ini dibuktikan dengan, begitu tersohornya karya Laksmi ini, tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain.Â
Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul Alle Farben Rot. Selain bahasa Jerman, Amba juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Amba of de kleur van rood. Â
Karena itu, tidak heran bahwa novel Amba menerima penghargaan sastra LiBeraturpreis 2016, yang digagas oleh Litprom, sebuah lembaga sastra berbasis di Jerman.
Dalam penghargaan ini, Laksmi bersaing dengan Marguerite Abouet, seorang penulis dari Afrika, Najet Adouani, seorang penulis dari Tunisia, Maria Sonia Cristoff, seorang penulis dari Argentina, Ayelet Gundar-Goshen, seorang penulis dari Israel, dan Antjie Krog, juga seorang penulis dari Afrika.
Semuanya adalah penulis perempuan berpengaruh di negaranya masing-masing.
Salah satu kekuatan utama novel ini adalah kehadiran cuplikan dari epik Mahabharata yang muncul di setiap transisi "buku"-nya.
Nama-nama karakter memang diambil dari cerita wayang tradisional Jawa, dan penulis memulai setiap "buku" dengan kutipan dari kitab aslinya.Â
Berdasarkan penelusuran saya, Laksmi melakukan penelitian selama 10 tahun, mengunjungi lokasi secara langsung, dan melakukan wawancara dengan berbagai sumber sebagai bagian dari materi untuk menulis novel ini.Â
Cinta memang telah mengubah kepribadian Amba, dan telah mengoyak-oyak hati dan perasaan Nurrahmawati, pemantik diskusi diskusi bertajuk Perjuangan dan Cinta dalam Novel 'Amba' Karya Laksmi Pamuntjak yang berlangsung pada hari Senin, 24 Juli 2023 lalu, di Kineta Coffee & Public Sphere. Â