Dengan status dualistik itu, mestinya KPU dapat mengembangkan standar pelindungan data pemilih yang mempertimbangkan dua aspek tersebut.Â
Secara pribadi, sekali lagi, saya merasa was-was jika parpol diizinkan bisa mengakses data pribadi. Jangankan parpol, yang sistem perlindungan dan penggunaan datanya tidak jelas, KPU saja pernah dibobol oleh "bjorka" dan datanya dijual.
Jika pun kita berandai-andai, data DPT yang dapat diakses oleh partai politik dapat menjadi sumber informasi berharga dalam menetapkan visi misi dan program kerja calon legislatif yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Dengan memiliki akses ke data pemilih, partai politik dapat menganalisis pola dan kecenderungan pemilih, serta memahami isu-isu yang dianggap penting oleh masyarakat.Â
Pertanyaannya, mengapa parpol tidak langsung turun ke rakyat untuk mengumpulkan, menyusun, mengonsolidasi, dan memutakhirkan data secara mandiri, alih-alih mencomot secara pragmatis dari KPU?
Hitung-hitung itu dilakukan untuk mendekatkan diri dengan rakyat.
Selanjutnya, kehadiran SIDALIHÂ ternyata juga tidak luput dari serangan siber. Pada Juli 2020 lalu, misalnya, situs lindungihakpilihmu.kpu.go.id (saat ini lindungihakmu.kpu.go.id), yang merupakan situs pengecekan status pemilih dalam daftar pemilih Pilkada Serentak 2020, sempat mengalami serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS). Â
Dari berbagai rentetan kasus kebocoran data, menjadi gambaran bahwa teknologi informasi dalam pemilu menjadi sasaran empuk ancaman serangan siber yang semakin kompleks dengan berbagai macam dugaan motif.
Perlindungan data privasi pemilih merupakan bentuk perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana dituliskan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, khususnya pada artikel 17, serta UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) yang mengatur perlindungan hak ini.
Hal ini termasuk dalam upaya untuk menjamin keamanan warga.
Selain itu, menjaga hak privasi pemilih juga menempatkan kembali penyelenggaraan pemilu dalam koridor demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip Pemilu.Â