Saya meyakini bahwa pendidikan bisa dianggap gagal jika anak petani tak lagi ingin bertani dan anak nelayan berhenti melaut.Â
Klausa ini juga saya sampaikan dalam diskusi ke-58, membahas buku The Smartest Kids in the World: And How They Got That Way karya Amanda Ripley, Senin 17 Juli 2023 lalu, di Kineta Coffee & Public Sphere, bersama Klub Buku Main-Main.
Edisi Bahasa Indonesia buku ini menampilkan subjudul yang menarik dan terkesan clickbait, "Rahasia Anak-Anak Pintar di Dunia, Pola Asuh, dan Sistem Pendidikannya," diterjemahkan dari ... Â And How They Got That Way.
Ini membuat saya penasaran dan tak ingin melewatkan diskusi kali ini.Â
Terlebih, saat ini, saya tengah mempelajari metode pendidikan yang efektif karena sedang mengajukan beasiswa untuk mengabdi di bidang pendidikan untuk daerah terpencil di Indonesia.
Menurut saya, menerjemahkan judul ... And How They Got That Way menjadi subjudul "Rahasia Anak-Anak Pintar di Dunia, Pola Asuh, dan Sistem Pendidikannya" kurang mencerminkan isi buku.Â
Ini lebih cocok disebut sebagai "trik marketing" atau strategi bisnis agar buku terjemahan mudah terjual.
Klub Buku Main-Main sering membongkar dan mengkritik buku yang layak dikritik. Meski ada kosakata 'main-main,' kadang sesekali serius juga memilih buku mana yang patut dibaca dan sebaliknya, disimpan dulu.
Buku The Smartest Kids in the World ditulis oleh Amanda Ripley, jurnalis investigatif terkenal dari Time, The Atlantic, dan beberapa majalah prestisius lainnya.
Sebagai seorang jurnalis, tulisan Amanda sangat direkomendasikan utamanya bagi kamu yang tertarik dengan liputan investigasi.
Amanda mampu menyajikan hasil liputannya dengan gaya jurnalisme sastrawi, membuatnya lebih menarik dan mengasyikkan untuk dibaca.
Karena itu, saya sepakat dengan Luluh Pramudaningtyas, pemantik diskusi kali ini. Buku ini cocok untuk guru, orangtua, dan siapa saja yang peduli pada kualitas pendidikan. Â Â
Amanda membahas perbandingan sistem pendidikan Amerika Serikat dengan Finlandia, Korea Selatan, dan Polandia, yang dikenal sebagai negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Perbedaan mencolok antara sekolah di AS dan Finlandia adalah keberadaan peralatan high-tech. Â
Meskipun fasilitas sekolah di AS lebih lengkap yang dapat mendukung proses belajar dan mengajar lebih maksimal, ternyata belum mampu mendominasi Finlandia.
Salah satu alasan utamanya adalah kualitas guru. Guru di Finlandia sangat dihormati baik secara finansial maupun secara sosial.
Tidak semua orang bisa masuk jurusan pendidikan guru, sehingga guru menjadi profesi yang prestisius di sana.Â
Ini berbeda dengan AS dan (mungkin) Indonesia yang sering mengaitkan gaji guru dengan akhirat untuk membenarkan gaji yang rendah. Â
Seperti yang dikatakan Amanda, kualitas guru akan mengalahkan segala fasilitas secanggih apa pun.
Jadi, bagaimana bisa mendapatkan guru berkualitas jika digaji hanya 50o ribu perbulan, terutama guru honorer seperti di Indonesia?
Selanjutnya di Korea Selatan, keberhasilan pendidikan didorong oleh hagwons, akademi swasta. Di Indonesia dikenal dengan istilah Bimbel.Â
Jam belajar di Korea dimulai dari pukul 8 pagi hingga 9 malam, dan dilanjutkan dengan hagwons hingga pukul 11 malam.
Sementara transformasi pendidikan di Polandia difokuskan pada peningkatan kurikulum. Â
Berbeda dengan AS, di Polandia kurikulum ditingkatkan sesuai standar internasional. Orangtua di sana percaya pengalaman dan kegagalan di sekolah lebih baik daripada di masa kerja.
Anak-anak di Polandia juga memahami hal ini, nilai buruk atau kegagalan tidak mematahkan semangat belajar mereka.
Menurut Amanda, untuk menilai bagus atau tidaknya sebuah sekolah, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan.
Faktor-faktor tersebut antara lain kemampuan sekolah dalam membangkitkan semangat belajar siswa, kelemahan yang diamati berdasarkan feedback dari orang tua lainnya, dan bagaimana sekolah menjaga kualitasnya.
Aspek-aspek ini memainkan peran penting dalam mengevaluasi efektivitas dan kinerja sekolah secara keseluruhan.
Selanjutnya dalam diskusi buku kali ini, kami mencatat bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat literasi dan numerasi suatu negara didasarkan pada hasil Programme for International Student Assessment (PISA) yang diprakarsai oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
PISA digunakan untuk mengukur kinerja siswa dalam literasi, matematika, dan sains di berbagai negara.
Namun, ada aspek yang diabaikan oleh PISA, yaitu Indigenous knowledge (pengetahuan adat) atau kearifan lokal yang unik di setiap negara.
Meskipun kurikulum di Amerika Serikat, Finlandia, Korea Selatan, dan Polandia dianggap yang terbaik saat ini, belum tentu cocok untuk setiap negara, terutama Indonesia, yang terdiri dari 1.340 kelompok etnis dengan beragam latar belakang budaya dan kondisi lingkungan.
Saya tertarik apa yang disampaikan oleh Gafur Pratama (Aponk), di mana Indonesia memiliki salah satu sajian pendidikan khas, yaitu Pondok Pesantren.
Pondok Pesantren memiliki daya tarik yang lebih kuat karena tidak hanya mengajarkan santri pada ranah IQ (Intelligence Quotient) yang berkaitan dengan kemampuan kognitif tetapi juga menitikberatkan pada EQ (Emotional Quotient) untuk mengukur kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial.
Dengan menekankan SQ (Spiritual Quotient) yang erat kaitannya dengan kecerdasan spiritual, Pondok Pesantren menyadari pentingnya kecerdasan sosial dan spiritual. Aspek-aspek ini seringkali tidak ditekankan di sekolah internasional dengan kurikulum yang konon terbaik di dunia.
Last but not least, jika lembaga pendidikan hanya mengukur kecerdasan seseorang berdasarkan Intelligence Quotient, maka manusia bisa kalah dari kecerdasan buatan (artificial intelligence), yang tidak lama lagi segera menggantikan banyak peran manusia.
Sangat penting bagi sistem pendidikan kita untuk mengenali dan mengembangkan seluruh kecerdasan manusia, termasuk kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual, agar dapat mengikuti perkembangan zaman yang terus berubah.
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H