Namun, ada aspek yang diabaikan oleh PISA, yaitu Indigenous knowledge (pengetahuan adat) atau kearifan lokal yang unik di setiap negara.
Meskipun kurikulum di Amerika Serikat, Finlandia, Korea Selatan, dan Polandia dianggap yang terbaik saat ini, belum tentu cocok untuk setiap negara, terutama Indonesia, yang terdiri dari 1.340 kelompok etnis dengan beragam latar belakang budaya dan kondisi lingkungan.
Saya tertarik apa yang disampaikan oleh Gafur Pratama (Aponk), di mana Indonesia memiliki salah satu sajian pendidikan khas, yaitu Pondok Pesantren.
Pondok Pesantren memiliki daya tarik yang lebih kuat karena tidak hanya mengajarkan santri pada ranah IQ (Intelligence Quotient) yang berkaitan dengan kemampuan kognitif tetapi juga menitikberatkan pada EQ (Emotional Quotient) untuk mengukur kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial.
Dengan menekankan SQ (Spiritual Quotient) yang erat kaitannya dengan kecerdasan spiritual, Pondok Pesantren menyadari pentingnya kecerdasan sosial dan spiritual. Aspek-aspek ini seringkali tidak ditekankan di sekolah internasional dengan kurikulum yang konon terbaik di dunia.
Last but not least, jika lembaga pendidikan hanya mengukur kecerdasan seseorang berdasarkan Intelligence Quotient, maka manusia bisa kalah dari kecerdasan buatan (artificial intelligence), yang tidak lama lagi segera menggantikan banyak peran manusia.
Sangat penting bagi sistem pendidikan kita untuk mengenali dan mengembangkan seluruh kecerdasan manusia, termasuk kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual, agar dapat mengikuti perkembangan zaman yang terus berubah.
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H