Selain RPH, ketidaklengkapan hakim juga terlihat dari rapat pleno atau pembacaan putusan. Sebanyak 387 putusan hanya dihadiri oleh 8 orang hakim saat pleno, bahkan 116 putusan pleno hanya dihadiri oleh 7 orang hakim.
Berdasarkan ketentuan hukum acara MK, hakim hanya dimungkinkan untuk tidak hadir jika terjadi "keadaan luar biasa" seperti meninggal dunia atau terganggu fisik dan jiwanya.
Keempat, hal ini dapat menjadi pertimbangan penting dalam perancangan UU yang dilakukan oleh pemerintah, DPR, dan masyarakat. Jumlah pengujian UU yang cukup banyak di MKRI menggambarkan adanya permasalahan terkait pembentukan regulasi dan substansi di Indonesia.Â
Harapan Publik terhadap Mahkamah Konstitusi di Masa Depan
Publik memiliki harapan yang tinggi terhadap MKRI dalam meningkatkan kewibawaan dan martabat konstitusi. Harapan itu wajar setelah skandal demi skandal terjadi di lembaga yang dihuni para "negarawan yang menguasai konstitusi" ini.
Tugas berat kini ada pada pundak Anwar Usman dan Saldi Isra, Ketua dan Wakil Ketua MKRI periode 2023-2028. Publik berharap pada integritas mereka, terutama Saldi Isra, seorang akademisi kritis dan mantan pegiat antikorupsi.Â
Terlebih, sebentar lagi akan memasuki tahun politik yang diwarnai dengan pelaksanaan pilkada ataupun kepala negara (Pilpres 2024), integritas MKRI akan semakin dibutuhkan. Bagaimana mereka bisa memutuskan berbagai sengketa terkait pilkada dengan seadil-adilnya.
Di sisi lain, upaya untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat dan kewibawaan tersebut hanya akan berhasil jika MKRI, melakukan pembenahan internal yang sudah lama tercoreng. Mulai proses rekrutmen, seleksi, hingga pengangkatan hakim. Jangan ada hakim-hakim ‘titipan’.
Keterbukaan dalam menerima kritik publik dan keberanian untuk melakukan otokritik merupakan suatu keharusan. Sesuai dengan filosofi "Rumah Konstitusi" yang dibangun tanpa pagar.
Saya pribadi percaya dan yakin, di bawah kepemimpinan Anwar-Saldi MKRI akan kembali kepada marwahnya sebagai benteng terakhir penegakan konstitusi di Bumi Pertiwi.