Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pernikahan Berbasis Mahabbah: Kisah Inspiratif Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah

23 Juni 2023   13:51 Diperbarui: 23 Juni 2023   14:03 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Medio Februari lalu, hebohnya pernikahan murah di KUA menggemparkan media sosial. Antusiasme publik terhadap kabar ini tinggi, terutama bagi pasangan yang ingin menikah dan terkendala biaya.

Namun, beberapa bulan kemudian, isu baru muncul, yakni menabung bersama pasangan. Trend pernikahan terus menjadi perbincangan yang tak lekang oleh waktu, baik di dunia nyata maupun digital.

Namun, sayangnya, sudah menjadi hal umum bahwa banyak orang saat ini lebih fokus pada aspek fisik pernikahan dan cenderung mengabaikan dimensi spiritualnya. 

Seperti kehilangan ruh, pernikahan sering kali hanya menjadi serangkaian acara seremonial tanpa mendalami makna sejatinya.

Bukti akan kehilangan ruh dalam pernikahan tampak nyata melalui meningkatnya jumlah pernikahan yang berakhir dengan perceraian di tengah jalan.

Data dari laporan Statistik Indonesia mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, tercatat sebanyak 516.334 kasus perceraian di Indonesia. Angka ini meningkat sebesar 15,31% dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencatat 447.743 kasus.

Angka kasus perceraian yang mencapai titik tertinggi dalam enam tahun terakhir ini menggambarkan betapa seriusnya masalah ini dalam konteks pernikahan di Tanah Air.

Dalam Kuliah Umum Kosmologi Pernikahan yang diadakan secara daring pada Kamis, 22 Juni 2022, A. M. Safwan, Koordinator Rumah Cinta Fatimah, mengungkapkan pandangannya tentang pernikahan.

Menurutnya, pernikahan adalah perjalanan spiritual terbaik di mana kita berjuang dan berjihad. Safwan menjelaskan bahwa dimensi tertinggi dalam pernikahan adalah dimensi spiritual, sementara dimensi terendah adalah dimensi fisik.

Safwan menekankan pentingnya untuk tidak melihat pernikahan hanya sebagai pemenuhan hasrat semata.

Untuk memperkuat argumennya, ia memberikan contoh pernikahan antara Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra di Masjid Nabawi pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriah.

Proses pernikahan antara Ali dan Fatimah memiliki makna simbolis yang mendalam. 

Sebelumnya, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab datang kepada Rasulullah untuk melamar Fatimah Az-Zahra. Namun, Rasulullah menjawab bahwa beliau menunggu jawaban dari Allah. 

Setelah itu, Abu Bakar dan Umar menyimpulkan bahwa lamaran mereka tidak diterima. Mereka kemudian mendatangi Ali dan meyakini bahwa Ali adalah orang yang paling pantas dan layak untuk melamar Sayyidah Fatimah. 

Kedatangan Imam Ali dengan pernyataannya yang penuh makna menambah nuansa simbolis dalam proses pernikahan tersebut.

Imam Ali mengatakan kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, Fatimah terlintas dalam benakku." Kalimat ini mengandung keindahan dan kelembutan yang melambangkan cinta Ali terhadap Fatimah.  

Rasulullah menjawab dengan penuh kegembiraan, "Marhaban wa Ahlan." Rasulullah mengulangi kata-kata ini dua hingga tiga kali, memberikan penekanan dan kehangatan dalam menerima lamaran Ali. 

Para sahabat, terutama Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, menyimpulkan bahwa lamaran Imam Ali telah diterima dengan sukacita.

Sesungguhnya, di sisi lain, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah telah menjadi teman sejak kecil.

Pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah betapa sederhananya kehidupan Imam Ali. 

Ia hanya memiliki dua harta, yaitu pedangnya sebagai alat pertahanan dan pakaian perang. Pakaian perang tersebut kemudian dijual dengan harga sekitar 400 dirham, setara dengan harga sebotol minyak wangi dan dua rak kecil, untuk memenuhi mahar pernikahannya dengan Fatimah. 

Hari ini, jika dirupiahkan, 400 dirham setara dengan sekitar 1,7 juta rupiah. 

Pernikahan agung mereka menjadi bukti bahwa kekayaan sejati tidak terletak pada materi yang melimpah, melainkan dalam nilai-nilai, cinta, dan komitmen yang terjalin di antara pasangan. 

Nabi Muhammad saw. tidak menunjukkan kemewahan dalam penyelenggaraan pernikahan anaknya bukan karena ketidakmampuannya, melainkan sebagai contoh agar umatnya tidak terbebani oleh tuntutan-tuntutan materi. 

Setelah pernikahan Imam Ali dan Sayyidah Fatimah, Nabi Muhammad saw. juga menunjukkan perhatian dan kepeduliannya terhadap kebahagiaan putrinya. 

Beliau mengunjungi Fatimah pada hari pertama setelah pernikahan, kemudian kembali lagi empat hari setelahnya untuk bertanya tentang kabar suami Fatimah, Ali, serta keadaan Fatimah sendiri. 

Tindakan ini menunjukkan bahwa seorang orang tua memiliki peran penting dalam memastikan kebahagiaan anaknya setelah menikah. 

Dalam kuliah umum yang disampaikan melalui Channel YouTube Rumah Cinta Fatimah tersebut, Safwan menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam, tidak ada konsep domestikasi dalam hubungan suami-istri.

Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra menjadi contoh nyata bagaimana mereka aktif terlibat dalam diskusi untuk menentukan pembagian tugas di dalam rumah tangga mereka. 

Ali bin Abi Thalib tidak pernah memerintahkan Fatimah Az-Zahra untuk terbatas pada pekerjaan rumah saja. Sebaliknya, mereka secara bersama-sama berdiskusi dan mencapai kesepakatan mengenai tugas-tugas yang akan mereka jalankan. 

Bahkan dalam sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib merasa tidak tega melihat Fatimah Az-Zahra harus bekerja keras menggiling gandum. Ali bin Abi Thalib kemudian mengusulkan agar Fatimah Az-Zahra menyampaikan kekhawatirannya kepada Rasulullah untuk mencari seorang asisten rumah tangga. 

Namun, Rasulullah tidak memenuhi permintaan mereka.

Sebagai gantinya, Rasulullah memberikan hadiah yang jauh lebih berharga daripada yang diminta. 

Inilah yang kemudian dikenal dengan "tasbih Fatimah", di mana beliau mengajarkan Fatimah Az-Zahra untuk mengucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah) sebanyak 33 kali, "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah) sebanyak 33 kali, dan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar) sebanyak 34 kali setiap kali akan tidur.


Musyawarah antara Imam Ali dan Sayyidah Fatimah ini memiliki perbedaan dengan konsep kesetaraan gender yang sedang banyak diperbincangkan. Meskipun keduanya melibatkan musyawarah, namun titik awalnya berbeda.

Cinta Ali bin Abi Thalib kepada Fatimah Az-Zahra berakar dari ketaatannya kepada Allah.  Sebaliknya, cinta Fatimah Az-Zahra kepada Ali bin Abi Thalib menghasilkan ketaatan sebagai seorang istri. 

Sehingga, terbentuklah ikatan yang kuat dalam mahabbah (cinta yang penuh kasih dan pengertian). 

Artinya, ketaatan Imam Ali melahirkan cinta, cinta Sayyidah Fatimah melahirkan ketaatan. Titik berangkatnya berbeda akan tetapi tujuannya sama.

Namun, keberhasilan tersebut tidak dapat terwujud apabila pernikahan hanya dibangun atas dasar nafsu dan kepentingan fisik belaka. 

Menurut pandangan Safwan, dalam kosmologi Islam, dimensi paling utama dalam sebuah pernikahan adalah dimensi spiritual, sementara dimensi fisik merupakan yang terendah.

"Omong kosong ada cinta tanpa ketaatan, omong kosong ketaatan tanpa cinta, tidak mungkin. Orang taat itu (pasti) karena cinta. Kalau taat bukan karena cinta itu determinasi, paksaan," kata Safwan. 

Tidak perlu memaksa perempuan atau istri untuk taat, karena jika cintanya tulus, ketaatannya akan muncul dengan sendirinya. Maka aneh jika seorang suami menuntut ketaatan dari istrinya, karena bukan itu titik berangkatnya.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dalam kosmologi Islam, cinta perempuan melahirkan ketaatan, sementara ketaatan laki-laki akan melahirkan cinta. Inilah perbedaan mendasar yang menjadi landasan dalam hubungan antara Ali bin Abi Thalib dengan Sayyidah Fatimah.  

Sayyidah Fatimah dan Imam Ali menjadi contoh teladan dalam membangun sebuah rumah tangga, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi seluruh umat manusia. 

Pernikahan mereka memberikan gambaran tentang bagaimana mahabbah (cinta yang penuh kasih dan pengertian) tumbuh dari ketaatan dan kecintaan. 

Orientasi mahabbah ini berbasis pada pendidikan spiritual. Cinta, adalah sesuatu yang tidak dapat didefinisikan, memiliki sifat ruhaniah dan spiritual. Ketika suatu "perasaan" dapat dijelaskan secara definisi, itu bukanlah cinta, melainkan "kalkulasi." 

Kalkulasi sendiri bersifat materialistik dan dapat hilang karena faktor-faktor tertentu. 

Oleh karena itu, jangan heran seperti yang telah disinggung di awal tulisan, banyak orang mengalami perceraian karena mereka tidak mampu membawa "mahabbah" ke dalam rumah tangga mereka, karena pernikahan mereka tidak didasarkan pada dimensi spiritual, melainkan hanya dimensi fisik semata. 

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun