Sebagai gantinya, Rasulullah memberikan hadiah yang jauh lebih berharga daripada yang diminta.
Inilah yang kemudian dikenal dengan "tasbih Fatimah", di mana beliau mengajarkan Fatimah Az-Zahra untuk mengucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah) sebanyak 33 kali, "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah) sebanyak 33 kali, dan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar) sebanyak 34 kali setiap kali akan tidur.
Musyawarah antara Imam Ali dan Sayyidah Fatimah ini memiliki perbedaan dengan konsep kesetaraan gender yang sedang banyak diperbincangkan. Meskipun keduanya melibatkan musyawarah, namun titik awalnya berbeda.
Cinta Ali bin Abi Thalib kepada Fatimah Az-Zahra berakar dari ketaatannya kepada Allah. Sebaliknya, cinta Fatimah Az-Zahra kepada Ali bin Abi Thalib menghasilkan ketaatan sebagai seorang istri.
Sehingga, terbentuklah ikatan yang kuat dalam mahabbah (cinta yang penuh kasih dan pengertian).
Artinya, ketaatan Imam Ali melahirkan cinta, cinta Sayyidah Fatimah melahirkan ketaatan. Titik berangkatnya berbeda akan tetapi tujuannya sama.
Namun, keberhasilan tersebut tidak dapat terwujud apabila pernikahan hanya dibangun atas dasar nafsu dan kepentingan fisik belaka.
Menurut pandangan Safwan, dalam kosmologi Islam, dimensi paling utama dalam sebuah pernikahan adalah dimensi spiritual, sementara dimensi fisik merupakan yang terendah.
"Omong kosong ada cinta tanpa ketaatan, omong kosong ketaatan tanpa cinta, tidak mungkin. Orang taat itu (pasti) karena cinta. Kalau taat bukan karena cinta itu determinasi, paksaan," kata Safwan.
Tidak perlu memaksa perempuan atau istri untuk taat, karena jika cintanya tulus, ketaatannya akan muncul dengan sendirinya. Maka aneh jika seorang suami menuntut ketaatan dari istrinya, karena bukan itu titik berangkatnya.