Untuk memperkuat argumennya, ia memberikan contoh pernikahan antara Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra di Masjid Nabawi pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriah.
Proses pernikahan antara Ali dan Fatimah memiliki makna simbolis yang mendalam.
Sebelumnya, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab datang kepada Rasulullah untuk melamar Fatimah Az-Zahra. Namun, Rasulullah menjawab bahwa beliau menunggu jawaban dari Allah.
Setelah itu, Abu Bakar dan Umar menyimpulkan bahwa lamaran mereka tidak diterima. Mereka kemudian mendatangi Ali dan meyakini bahwa Ali adalah orang yang paling pantas dan layak untuk melamar Sayyidah Fatimah.
Kedatangan Imam Ali dengan pernyataannya yang penuh makna menambah nuansa simbolis dalam proses pernikahan tersebut.
Imam Ali mengatakan kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, Fatimah terlintas dalam benakku." Kalimat ini mengandung keindahan dan kelembutan yang melambangkan cinta Ali terhadap Fatimah.
Rasulullah menjawab dengan penuh kegembiraan, "Marhaban wa Ahlan." Rasulullah mengulangi kata-kata ini dua hingga tiga kali, memberikan penekanan dan kehangatan dalam menerima lamaran Ali.
Para sahabat, terutama Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, menyimpulkan bahwa lamaran Imam Ali telah diterima dengan sukacita.
Sesungguhnya, di sisi lain, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah telah menjadi teman sejak kecil.
Pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah betapa sederhananya kehidupan Imam Ali.
Ia hanya memiliki dua harta, yaitu pedangnya sebagai alat pertahanan dan pakaian perang. Pakaian perang tersebut kemudian dijual dengan harga sekitar 400 dirham, setara dengan harga sebotol minyak wangi dan dua rak kecil, untuk memenuhi mahar pernikahannya dengan Fatimah.