Mohon tunggu...
I Dw Ayu Eka Purba Dharma Tari
I Dw Ayu Eka Purba Dharma Tari Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Program Doktoral Universitas Pendidikan Ganesha

Dosen Prodi Bimbingan&Konseling Universitas PGRI Mahadewa Indonesia Psikolog

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Carut Marut PPDB Kekuasaan dan Ketimpangan Akses Pendidikan

2 Desember 2024   11:31 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:21 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Team Debate SMAPAN Denpasar .Sumber : Dok.Pribadi

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia kerap kali menjadi panggung dari ketimpangan yang mencolok, memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan politik berperan dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan pendidikan berkualitas. Di balik kebijakan dan regulasi yang tampaknya adil, ada lapisan-lapisan ketidakadilan yang bersembunyi. 

Sebagai contoh, kebijakan zonasi yang dicanangkan untuk meratakan akses pendidikan justru sering kali tidak lebih dari sebuah ilusi. Alih-alih memberikan kesempatan yang setara, kebijakan ini malah menempatkan siswa yang berprestasi pada posisi yang terpinggirkan, hanya karena mereka tidak memiliki "koneksi" atau "akses" ke jalur-jalur khusus.

Kebijakan Zonasi: Antara Niat Baik dan Realitas Yang Menghancurkan

Pada awalnya, kebijakan zonasi dirancang dengan niat yang baik, yakni untuk meratakan akses pendidikan dan mengurangi kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta. Dengan zonasi, diharapkan siswa bisa lebih mudah mengakses sekolah negeri yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Namun, kenyataannya, zonasi malah memperburuk ketimpangan yang sudah ada.

Banyak siswa berprestasi yang tidak bisa masuk sekolah negeri karena "tersingkirkan" oleh jalur-jalur khusus yang tidak selalu berbasis pada nilai atau kemampuan akademik, seperti jalur afirmasi atau jalur prestasi lokal.

Kekeliruan paling mencolok terjadi ketika siswa dengan nilai tinggi harus rela dipaksa masuk ke sekolah swasta yang biayanya jauh lebih mahal, sementara kursi di sekolah negeri, yang seharusnya menjadi hak mereka, malah diisi oleh siswa dengan nilai rendah melalui jalur-jalur yang sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Di sini, sistem PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) bukan lagi sekadar soal pendidikan, tetapi sudah menjadi arena politik kekuasaan, yang menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang memiliki potensi tetapi tidak cukup "beruntung" untuk masuk dalam jaringan kekuasaan.

Pungutan Liar dan Manipulasi Data Domisili: Penyakit Kronis dalam Proses PPDB 

Isu pungutan liar dan manipulasi data domisili sering kali menjadi topik hangat di media sosial setiap kali PPDB berlangsung. Orang tua mengeluh tentang biaya-biaya tak terduga yang harus mereka tanggung agar anak-anak mereka bisa masuk ke sekolah negeri pilihan. Dalam beberapa kasus, bahkan muncul praktik manipulasi data domisili di mana orang tua memalsukan alamat tinggal agar anak-anak mereka bisa mendaftar ke sekolah dengan standar yang lebih tinggi, meskipun secara geografis mereka tidak tinggal di area tersebut.

Di balik praktik-praktik ini, ada mekanisme kekuasaan yang sulit dipatahkan. Beberapa pihak yang memiliki kedekatan dengan pejabat atau oknum di sekolah sering kali menggunakan posisi mereka untuk melancarkan jalan bagi anak-anak mereka, mengorbankan mereka yang seharusnya berhak tetapi tidak memiliki "jalur belakang" tersebut. Ini memperlihatkan bahwa di dunia pendidikan, meski ada regulasi yang mengatur, sering kali keadilan diabaikan demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Ketimpangan Fasilitas Pendidikan: Antara Sekolah di Kota dan di Desa

Kekuasaan lokal juga berperan besar dalam ketidakadilan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Pemerintah daerah sering kali memiliki kontrol besar terhadap alokasi anggaran dan pembangunan fasilitas pendidikan. Namun, di banyak daerah, terutama yang terletak di luar kota besar, fasilitas pendidikan sangat minim. Sekolah-sekolah di pedesaan dan daerah terpencil sering kali kekurangan sarana dan prasarana yang memadai, seperti ruang kelas yang layak, buku pelajaran yang cukup, hingga akses internet yang memadai.

Fenomena ini semakin memperburuk ketimpangan yang ada. Sekolah-sekolah di kota besar atau daerah kaya dengan fasilitas lengkap dan tenaga pengajar berkualitas, sementara di pedesaan, siswa harus belajar di kelas dengan kondisi yang jauh dari kata layak. Ketimpangan ini semakin terasa dengan adanya perbedaan kualitas pengajaran dan pengelolaan sekolah antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dengan kata lain, anak-anak di daerah pedesaan sering kali harus bertarung lebih keras hanya untuk bisa mendapatkan akses ke pendidikan yang layak.

Sistem PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru): Mengabaikan Potensi Siswa dan Memperbesar Jurang Ketidakadilan

Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, kita akan menghadapi sebuah generasi yang skeptis terhadap sistem pendidikan. Mereka akan semakin merasa bahwa pendidikan berkualitas bukan lagi hak yang bisa diperoleh oleh siapa saja, tetapi hanya untuk mereka yang memiliki koneksi atau kekuasaan. Sistem PPDB yang tidak adil ini bisa menciptakan ketidakpercayaan yang lebih besar terhadap sistem pendidikan itu sendiri.

Pendidikan seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi mereka. Namun, jika sistem penerimaan siswa baru terus dibiarkan seperti ini, maka kita akan terus melihat prestasi akademik tidak dihargai sesuai dengan kualitasnya. Siswa-siswa yang memiliki potensi besar mungkin terpaksa bersekolah di tempat yang tidak sesuai dengan harapan dan kemampuan mereka, sementara yang lainnya mendapatkan kursi di sekolah negeri hanya karena faktor eksternal yang tidak berhubungan dengan kemampuan akademik mereka.

Reformasi yang Diperlukan: Mengembalikan Pendidikan pada Esensinya

Untuk mengatasi carut marut dalam penerimaan siswa baru, kita membutuhkan reformasi yang lebih mendalam. Pemerintah harus berani meninjau kembali kebijakan PPDB dan memperbaiki transparansi dalam setiap tahapannya. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memastikan bahwa jalur-jalur penerimaan seperti afirmasi dan prestasi benar-benar berdasarkan pada kriteria yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu, pendampingan terhadap sekolah-sekolah swasta juga perlu dilakukan agar mereka bisa bersaing secara sehat dengan sekolah negeri. Pemerintah harus memberikan dukungan yang memadai dalam hal fasilitas dan kualitas pengajaran di sekolah-sekolah swasta, sehingga mereka tidak hanya menjadi alternatif bagi siswa yang tidak diterima di sekolah negeri, tetapi juga pilihan yang dapat diandalkan oleh masyarakat.

Peran Orangtua Penting

Orang tua yang mengalami kekecewaan karena anak-anaknya tidak mendapatkan sekolah favorit perlu dengan kebesaran hati melihat situasi ini dari paradigma yang berbeda, bahwa mengajarkan anak-anak menerima keadaan dan berusaha bangkit kembali dengan pemahaman-pemahaman yang baik sehingga anak-anak juga bertumbuh dan berkembang secara psikologis dalam menghadapi kekecewaan 

Dan di sisi lain, orang tua yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak dan dimana dia harus bersekolah sebaiknya lebih menekannya aspek-aspek kejujuran dalam mengajarkan anak-anak memutuskan sesuatu. Artinya jika anak ingin mendapatkan sekolah favoritnya sebaiknya diberikan dorongan dan motivasi kepada anak untuk meraih apa yang diharapkan dengan cara-cara yang baik.

Kelas Kursus Bahasa Inggris EF Denpasar.Sumber : Dok.Pribadi
Kelas Kursus Bahasa Inggris EF Denpasar.Sumber : Dok.Pribadi

Terakhir, penting bagi pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan fasilitas pendidikan yang lebih merata. Sekolah-sekolah di daerah terpencil harus mendapatkan perhatian yang lebih, dengan anggaran yang cukup untuk memperbaiki kondisi fasilitas dan kualitas pengajaran. Pendidikan harus menjadi hak, bukan sekadar privilese bagi mereka yang berada dalam "zona nyaman" kekuasaan.

Pada akhirnya, pendidikan adalah hak setiap anak bangsa. Sistem PPDB  yang adil harus kembali ke semangat awalnya, yaitu mencerdaskan anak bangsa, tanpa ada diskriminasi. Keberanian politik dan komitmen untuk mengatasi ketidakadilan dalam pendidikan adalah langkah pertama yang perlu diambil untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar berorientasi pada keadilan sosial. Jika tidak, ketimpangan akan terus berlanjut, dan kita akan kehilangan generasi yang seharusnya menjadi penerus bangsa yang cerdas dan berpotensi besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun