Mohon tunggu...
I Gede Sutarya
I Gede Sutarya Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Lahir di Bangli, 8 November 1972 dari keluarga guru. Pendidikan SD sampai SMA di tempat kelahirannya Bangli. Menempuh Diploma 4 Pariwisata di Universitas Udayana selesai tahun 1997, S2 pada Teologi Hindu di IHDN Denpasar selesai tahun 2007, dan S3 (Doktor Pariwisata) di Universitas Udayana selesai tahun 2016.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Konferensi Minamata, "Danu Kertih", dan Pariwisata Bali

17 Januari 2022   19:58 Diperbarui: 18 Januari 2022   03:01 2587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Freepik)

Konferensi Minamata akan dilaksanakan di Bali pada 21-25 Maret 2022. Konferensi yang diikuti 37 negara ini akan membahas pengurangan dan penghapusan merkuri untuk sektor kesehatan, manufaktur, energi dan pertambangan emas. 

Konferensi ini mengingatkan semua orang tentang keracunan ikan akibat merkuri di perairan Minamata, Jepang pada tahun 1956.

Konferensi ini semakin tepat dilakukan di Bali, karena Bali juga sedang menghadapi berbagai masalah lingkungan. 

CNN Indonesia (20 Juli 2021) memberitakan puluhan ribu ikan nila mati di Danau Batur, Kintamani, Bali karena kena racun belerang.

Kematian ikan yang mencapai puluhan ribu ini tentu saja terjadi karena ketidakseimbangan ekosistem di kawasan danau tersebut.

Pemprov Bali merespons persoalan lingkungan ini dengan program Sad Kertih, yaitu dengan pemeliharaan lingkungan kawasan gunung, hutan, sungai, danau, pantai, dan kawasan pemukiman. 

Pada persoalan pemeliharaan kawasan danau (Danu Kertih), Pemprov Bali akan menggelar upacara Danu Kertih dan otonan sarwa wawalungan pada 29 Januari 2022, yang bertepatan dengan Tumpek Uye yang merupakan upacara untuk hewan peliharaan di Bali. 

Tumpek Uye adalah pemujaan terhadap Dewa Shiva sebagai Rare Angon atau pengembala.

Upacara ini akan diisi kegiatan nyata melepas 100 ribu ikan di Danau Buyan, melepas binatang ke hutan, melepas burung, vaksinasi anjing dan membersihkan sampah.

Kegiatan Pemprov Bali yang mengusung tradisi lokal Hindu di Bali patut mendapatkan apresiasi. Karena daya tarik pariwisata Bali sebenarnya adalah romantisme masyarakat Eropa pada era sebelum industrialisasi. 

Romantisme tersebut berupa suasana pedesaan, lahan pertanian yang luas, kehidupan masyarakat yang damai, dan budaya pertanian yang ceria.

Bali dalam suasana seperti itu adalah Bali pada era kolonial, yang masih belum mengembangkan industri pariwisata secara masif. Foto-foto pada masa kolonial ini (1920-1938) menjadi citra pariwisata Bali dari masa ke masa.

Akan tetapi, perkembangan industri pariwisata dari tahun 1990-an telah mulai mengancam suasana romantis tersebut. Sejak tahun 1990-an, lahan pertanian sawah menurun sekitar 1.000 hektare per tahun. 

Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana (Bali Post, 17/1/2020) menyatakan alih fungsi lahan sawah di Bali rata-rata 700 hektare per tahun. Sementara luas sawah di Bali berkisar 79 ribu hektare atau 14 persen dari luas Bali. Lahan ini akan terus menurun sejalan dengan pertambahan penduduk dan perkembangan fasilitas industri pariwisata.

Perencanaan pariwisata Bali tahun 1971, hanya mencanangkan 750 ribu wisman untuk mempertahankan suasana romantisme Bali. Tetapi pada tahun 1990-an telah mencapai satu juta wisman per tahun. 

Pada tahun 2000-2010 telah mencapai 2 juta wisman per tahun. Sedangkan 2010-2020 telah mencapai 4-6 juta wisman per tahun. Jika tidak dilanda Covid-19 kunjungan wisman akan mencapai 10 juta wisman per tahun pada tahun 2020-2030. 

Kunjungan wisman yang terus meningkat ini memerlukan penambahan fasilitas pariwisata, tenaga kerja, dan yang lainnya sehingga mengurangi jumlah lahan pertanian, terlebih lagi di Bali tidak diperkenankan bangunan tinggi untuk perumahan dan perhotelan sehingga mau tak mau terus menggerus lahan pertanian. 

Pertumbuhan pariwisata yang begitu besar ini juga mengancam lingkungan dan budaya Bali. Ancaman lingkungan dan budaya ini turut mengancam keberlangsungan pariwisata Bali.

Karena itu, sudah sangat sepantasnya kebijakan lokal kembali diangkat untuk membangun kembali romantisme wisatawan terhadap Bali.

Akan tetapi, hal ini hendaknya tidak dilakukan hanya sekedar simbol dengan upacara, pelepasan hewan, dan pembersihan sampah. Usaha ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam keseharian. 

Kritik peneliti luar tentang Bali yang touristik pantas untuk dicermati, bahwa Bali sudah mulai terbiasa dengan budaya pura-pura, seperti pura-pura menjadi petani padahal hanya sekedar untuk menghibur wisatawan. Hiburan itu hendaknya tidak meluas kepada pura-pura menjaga lingkungan, padahal hanya untuk menghibur wisatawan.

Bali yang bersahaja bahwa menjaga lingkungan alam dan sosial adalah bentuk bhakti kepada Tuhan, adalah sesuatu yang harus dikembalikan dan dipelihara terus menerus. 

Bagi masyarakat Bali, tanah dan air ini adalah ibu yang suci. Karena itu, leluhur orang Bali, Jawa dan pulau-pulau Nusantara lainnya menyebutkan tanah yang suci ini sebagai Mataram.

Mataram sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang merupakan bentuk obyek dari mata yang artinya ibu yang suci. Ibu yang suci tentu harus dipelihara dengan sebaik-baiknya sebagai bhakti kepada Tuhan.

Karena itu, kerajaan Mataram dulu membangun banyak candi di Jawa Tengah pada abad ke-7-10 Masehi untuk bhakti kepada Dewa Shiva.

Memelihara Mataram artinya memelihara seluruh bagian dari bumi ini. Karenanya, di pakraman yang sekarang disebut desa adat karena pengaruh kolonial, telah terdapat berbagai etika untuk menjaga kebersihan sungai, sawah, gunung, danau dan berbagai tempat lainnya. 

Pada masa lalu, tempat-tempat tersebut disebutkan tenget yang artinya tidak boleh dijamah sembarangan. Budaya tenget itu adalah budaya untuk memelihara lingkungan Bali. 

Budaya tenget seperti ini harus dipertahankan tetapi dengan penjelasan-penjelasan yang rasional. Seperti misalnya dalam Lontar Asta Kosala-Kosali disebutkan dilarang menggunakan kayu yang tumbuh di pinggir sungai untuk bahan bangunan. Larangan lontar ini harus dijelaskan sebagai komitmen orang Bali untuk menjaga sempadan sungai.

Oleh karena itu, momentum konferensi Minamata ini harus mengingatkan kembali Bali terhadap agama dan budayanya yang berbhakti kepada Mataram (ibu yang suci), dengan menghidupkan kembali budaya-budaya leluhurnya untuk membangun romantisme Bali sebagai daya tarik wisata. 

Hanya dengan bhakti orang-orang Bali terhadap ibu yang suci ini yang akan membangun masa depan pariwisata Bali kembali, sebab pariwisata Bali memerlukan dukungan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang baik. 

Tanpa itu, Bali akan ditinggalkan sebagai destinasi wisata seperti nasib berbagai destinasi wisata di dunia yang telah mengalami berbagai kerusakan lingkungan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun