Mohon tunggu...
I Gede Sutarya
I Gede Sutarya Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Lahir di Bangli, 8 November 1972 dari keluarga guru. Pendidikan SD sampai SMA di tempat kelahirannya Bangli. Menempuh Diploma 4 Pariwisata di Universitas Udayana selesai tahun 1997, S2 pada Teologi Hindu di IHDN Denpasar selesai tahun 2007, dan S3 (Doktor Pariwisata) di Universitas Udayana selesai tahun 2016.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Konferensi Minamata, "Danu Kertih", dan Pariwisata Bali

17 Januari 2022   19:58 Diperbarui: 18 Januari 2022   03:01 2587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Freepik)

Bagi masyarakat Bali, tanah dan air ini adalah ibu yang suci. Karena itu, leluhur orang Bali, Jawa dan pulau-pulau Nusantara lainnya menyebutkan tanah yang suci ini sebagai Mataram.

Mataram sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang merupakan bentuk obyek dari mata yang artinya ibu yang suci. Ibu yang suci tentu harus dipelihara dengan sebaik-baiknya sebagai bhakti kepada Tuhan.

Karena itu, kerajaan Mataram dulu membangun banyak candi di Jawa Tengah pada abad ke-7-10 Masehi untuk bhakti kepada Dewa Shiva.

Memelihara Mataram artinya memelihara seluruh bagian dari bumi ini. Karenanya, di pakraman yang sekarang disebut desa adat karena pengaruh kolonial, telah terdapat berbagai etika untuk menjaga kebersihan sungai, sawah, gunung, danau dan berbagai tempat lainnya. 

Pada masa lalu, tempat-tempat tersebut disebutkan tenget yang artinya tidak boleh dijamah sembarangan. Budaya tenget itu adalah budaya untuk memelihara lingkungan Bali. 

Budaya tenget seperti ini harus dipertahankan tetapi dengan penjelasan-penjelasan yang rasional. Seperti misalnya dalam Lontar Asta Kosala-Kosali disebutkan dilarang menggunakan kayu yang tumbuh di pinggir sungai untuk bahan bangunan. Larangan lontar ini harus dijelaskan sebagai komitmen orang Bali untuk menjaga sempadan sungai.

Oleh karena itu, momentum konferensi Minamata ini harus mengingatkan kembali Bali terhadap agama dan budayanya yang berbhakti kepada Mataram (ibu yang suci), dengan menghidupkan kembali budaya-budaya leluhurnya untuk membangun romantisme Bali sebagai daya tarik wisata. 

Hanya dengan bhakti orang-orang Bali terhadap ibu yang suci ini yang akan membangun masa depan pariwisata Bali kembali, sebab pariwisata Bali memerlukan dukungan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang baik. 

Tanpa itu, Bali akan ditinggalkan sebagai destinasi wisata seperti nasib berbagai destinasi wisata di dunia yang telah mengalami berbagai kerusakan lingkungan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun