Bali dalam suasana seperti itu adalah Bali pada era kolonial, yang masih belum mengembangkan industri pariwisata secara masif. Foto-foto pada masa kolonial ini (1920-1938) menjadi citra pariwisata Bali dari masa ke masa.
Akan tetapi, perkembangan industri pariwisata dari tahun 1990-an telah mulai mengancam suasana romantis tersebut. Sejak tahun 1990-an, lahan pertanian sawah menurun sekitar 1.000 hektare per tahun.Â
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana (Bali Post, 17/1/2020) menyatakan alih fungsi lahan sawah di Bali rata-rata 700 hektare per tahun. Sementara luas sawah di Bali berkisar 79 ribu hektare atau 14 persen dari luas Bali. Lahan ini akan terus menurun sejalan dengan pertambahan penduduk dan perkembangan fasilitas industri pariwisata.
Perencanaan pariwisata Bali tahun 1971, hanya mencanangkan 750 ribu wisman untuk mempertahankan suasana romantisme Bali. Tetapi pada tahun 1990-an telah mencapai satu juta wisman per tahun.Â
Pada tahun 2000-2010 telah mencapai 2 juta wisman per tahun. Sedangkan 2010-2020 telah mencapai 4-6 juta wisman per tahun. Jika tidak dilanda Covid-19 kunjungan wisman akan mencapai 10 juta wisman per tahun pada tahun 2020-2030.Â
Kunjungan wisman yang terus meningkat ini memerlukan penambahan fasilitas pariwisata, tenaga kerja, dan yang lainnya sehingga mengurangi jumlah lahan pertanian, terlebih lagi di Bali tidak diperkenankan bangunan tinggi untuk perumahan dan perhotelan sehingga mau tak mau terus menggerus lahan pertanian.Â
Pertumbuhan pariwisata yang begitu besar ini juga mengancam lingkungan dan budaya Bali. Ancaman lingkungan dan budaya ini turut mengancam keberlangsungan pariwisata Bali.
Karena itu, sudah sangat sepantasnya kebijakan lokal kembali diangkat untuk membangun kembali romantisme wisatawan terhadap Bali.
Akan tetapi, hal ini hendaknya tidak dilakukan hanya sekedar simbol dengan upacara, pelepasan hewan, dan pembersihan sampah. Usaha ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam keseharian.Â
Kritik peneliti luar tentang Bali yang touristik pantas untuk dicermati, bahwa Bali sudah mulai terbiasa dengan budaya pura-pura, seperti pura-pura menjadi petani padahal hanya sekedar untuk menghibur wisatawan. Hiburan itu hendaknya tidak meluas kepada pura-pura menjaga lingkungan, padahal hanya untuk menghibur wisatawan.
Bali yang bersahaja bahwa menjaga lingkungan alam dan sosial adalah bentuk bhakti kepada Tuhan, adalah sesuatu yang harus dikembalikan dan dipelihara terus menerus.Â