Pemprov Bali kini mulai menata kawasan Besakih, dengan membangun parkir bertingkat dan fasilitas umum lainnya. Pembangunan ini pada kawasan suci ini sempat diwarnai pro dan kontra tentang penolakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Besakih, tetapi KSPN Besakih ternyata tetap ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomer 50 Tahun 2011.Â
Penetapan ini KSPN Besakih lama tidak ditindaklanjuti pemerintah pusat. Pada tahun 2021 ini dilakukan penataan kawasan suci ini, tetapi ditolak kalau ini berkaitan dengan KSPN Besakih. Pemprov Bali dalam iklannya menyatakan penataan kawasan suci ini untuk pariwisata dan keagamaan.
Akan tetapi, pro dan kontra pembangunan di kawasan suci bukan hal yang baru. Pro dan kontra ini mulai mengemuka tahun 1994 ketika terjadi pembangunan BNR di Tanah Lot.Â
Penolakan ini dilatarbelakangi alasan kesucian pura, karena telah meluasnya kawasan pariwisata Bali. Perluasan kawasan pariwisata itu dilatarbelakangi kenaikan target kunjungan wisman yang ditargetkan 1,5 juta wisman pada lima tahun ke depannya.Â
Target ini merupakan dua kali lipat dari target sebelumnya yang ditetapkan 750 ribu wisman pada pencanangan awal pariwisata Bali tahun 1971, dengan pembangunan Nusa Dua Resort, perluasan Bandara Ngurah Rai, dan pendukung lainnya. Pada tahun 1993, target tersebut telah terpenuhi dengan menerima wisman 885.516 orang.
Terpenuhinya target ini mendorong peningkatan target menuju 1,5 wisman dalam lima tahun ke depan, dengan penambahan kawasan wisata dari tujuh kawasan wisata menjadi 15 kemudian menjadi 21 kawasan wisata tahun 1994. Â Target ini hampir saja terpenuhi kalau tidak terjadi berbagai krisis tahun 1995 - 1999.Â
Akan tetapi tahun 1999, Bali telah menerima wisman sebesar 1,3 juta orang lebih. Tahun 2000, berbagai krisis telah mengalami pemulihan, karena itu Bali optimis lagi untuk mendatangkan wisman. Tetapi terjadi berbagai teror pada tahun 2002 dan 2005. Teror ini menunda tercapainya target kedatangan wisman menuju 1,5 juta. Bahkan sempat turun ke angka 993 ribu lebih pada tahun 2003.
Setelah teror-teror ini, pada tahun 2007, Bali menerima kunjungan wisman 1,6 juta lebih sehingga sudah melampaui target tahun 1994. Tercapainya target ini mendorong perkembangan pariwisata Bali yang terus meningkat menerima kunjungan wisman. Pada tahun 2010, Bali telah menerima kunjungan wisman 2,49 juta lebih.Â
Pada tahun 2016, sudah menerima 4,9 juta lebih. Lima tahun kemudian (2021) diharapkan sudah menerima 10 juta wisman, tetapi mengalami masa-masa pendemi Covid 19 tahun 2020, sehingga kunjungan wisman yang sudah mencapai 6 juta wisman lebih tahun 2018 dan 2019 menurun drastis ke angka satu juta pada tahun 2020.
Target 10 juta wisman diikuti pengembangan kawasan yang merambah kawasan Teluk Benoa untuk menyediakan akomodasi dan fasilitas lainnya pada kawasan reklamasi yang diperkirakan mencapai 600 hektar, tetapi pengembangan ini mengalami penolakan. Penolakan ini beralasan karena pengembangan pariwisata Bali ternyata menyaingi bisnis-bisnis masyarakat lokal.Â
Jumlah hotel berbintang misalnya terus meningkat jumlahnya menyaingi penghinapan-penghinapan milik masyarakat lokal. Pada tahun 2012, jumlah hotel berbintang sekitar 2.500 dan non bintang sekitar 2.500, tetapi tahun 2017, jumlah hotel berbintang sudah 7.500 lebih dan non bintang hanya 6.500. Hal ini menunjukkan investasi berskala besar terus meningkat di Bali, menandingi industri-industri lokal.
Untuk Masyarakat Lokal
Penataan kawasan suci Besakih juga dicurigai akan berpola menyisihkan ekonomi masyarakat lokal. Selama ini, masyarakat lokal berdagang dengan warung sederhana di kawasan itu.Â
Setelah pengelolaan, bukan tidak mungkin, kios-kios menjadi mahal dan tak terjangkau masyarakat lokal. Karena itu, pemerintah harus menjawab kekhawatiran ini dengan menjadikan penataan Besakih sebagai momentum untuk pembangunan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, penataan Besakih harus menyentuh semua aspek kehidupan di kawasan suci ini.
Konsep Tri Hita Karana harus diimplementasikan secara baik dalam penataan ini. Tri Hita Karana terdiri dari parahyangan (tempat suci), pawongan (penduduk), dan palemahan (lingkungan).Â
Tempat suci dan pelemahannya telah mulai diperbaiki, tetapi bagaimana dengan pawongannya? Kawasan Besakih secara tradisi diusung oleh pragunung yang merupakan kumpulan desa-desa. Pragunung ini diatur berkeliling sesuai penjuru mata angin. Pragunung timur, selatan, barat, dan utara (Stuart-Fox, 2010:281).Â
Pragunung ini memiliki kewajiban untuk mengaturkan bahan-bahan upacara dan upacara tertentu. Desa-desa ini memiliki keunikan yang mendukung keberadaan kawasan suci.
Akan tetapi, fokus pembangunan hanya pada kawasan sekitar pura sehingga hal ini akan menimbulkan kesenjangan antara desa-desa itu. Kesenjangan ini bisa mengganggu tradisi yang sudah berlangsung lama.Â
Karena itu, pemerintah perlu membangun pawongan pragunung ini dengan mengangkat potensi desa-desa mereka sehingga bisa mendukung Besakih secara berkesinambungan.Â
Aset-aset pragunung ini harus diatur sedemikian rupa sehingga menjadi satu-kesatuan dengan Besakih. Termasuk di dalamnya, budaya pragunung ini harus diangkat untuk menjadi satu-kesatuan dengan budaya di Besakih.
Besakih adalah hamparan tatva (filsafat) masyarakat Bali. Tatva itu mengandung konsep ketuhanan, kosmologi, dan ajaran bagaimana manusia menghubungkan diri dengan Tuhan.Â
Tatva ini harus diperjelas dalam penataan kawasan ini sehingga orang Bali bisa belajar, dan masyarakat dunia bisa belajar, bagaimana masyarakat Bali membangun relasinya dengan Tuhan.Â
Konsep ketuhanan telah sangat jelas tergambar pada tempat-tempat suci di Besakih. Kosmologinya adalah kawasan desa-desa pragunung, yang melingkari purusha (Besakih), membentuk lingkaran yang terkasar sampai terhalus. Orang-orang yang mencari Tuhan ada dalam kosmologi itu melangkah dalam desa-desa pragunung untuk mencapai Besakih, melalui yoga (jalan menghubungkan diri dengan Tuhan).
Penataan selama ini, hanya berfokus pada sekitar tempat suci ini sehingga gambaran kosmologi masyarakat Bali tidak tergambar dengan baik. Karena itu, tak banyak orang yang bisa belajar dari semua itu.Â
Karena itu, momentum penataan ini harus digunakan untuk membentangkan tatva masyarakat Bali, sehingga Bali benar-benar menonjolkan dirinya sebagai tempat belajar umat manusia dalam mencapai kebahagiaan. Jika momentum ini berhasil dibelokkan menuju pemberdayaan masyarakat pragunung ini maka Besakih akan terpelihara secara berkesinambungan.
Pembangunan berkelanjutan atas Besakih hanya bisa dilakukan jika memperhatikan lingkungan alam, masyarakat lokal, dan ekonomi lokal. Apabila masyarakat lokal dan ekonomi lokal dikesampingkan, kosmologi kawasan suci ini tidak akan hidup. Jika kosmologi ini tidak hidup, maka Besakih tidak akan bisa menjadi tempat pembelajaran yang utuh.Â
Besakih hanya akan menjadi monumen untuk mengenang masa lalu, tanpa pemaknaan yang mendalam. Karena itu, mudah-mudahan masyarakat Bali bisa dengan bijak belajar dari sejarah, sehingga tak mengulangi sejarah kelamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H