Mohon tunggu...
Hyasint Asalang
Hyasint Asalang Mohon Tunggu... Human Resources - Pergo et Perago

Bisnis itu harus menyenangkan!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menabur Kepedulian Ekologi dari Sampah

21 Juni 2019   14:14 Diperbarui: 23 Juni 2019   18:00 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi yang menumpuk di sekitar perumahan warga (Sumber: foto.kompas.com)

Berbicara tentang krisis ekologi di tanah Papua, maka kita dideretkan pada bermacam-macam masalah. Salah satu di antaranya ialah sampah yang dapat mengakibatkan lingkungan menjadi tak tertata, kelihatan kotor. 

Sampah yang memenuhi rumah, lingkungan masyarakat dan kota pada umumnya seakan-akan telah menjadi "keluarga baru" dalam setiap keluarga manusia sekarang ini. Namun, bagaimana tanggapan terhadap permasalahan ini? Sebagian memilih untuk menitikberatkannya pada petugas sampah hingga urusan pemerintah. Sebagian tidak peduli, sedangkan sisanya hanya berdiam diri. Lantas di manakah posisi Anda?

Hal yang akan dipaparkan di sini bukan hanya sekadar isu, refleksi atau pun hanyalah kenyataan yang hanya terbatas pada pemaparan. Dalam tataran ide, bertujuan untuk melihat potensi khusus pemeliharaan ekologi dalam bingkai pembangunan lingkungan dan kepedulian masyarakat. Sedangkan dalam tataran praktis, tujuan pokok dari deskripsi tulisan ini berhubungan dengan karakteristik khusus agar kepedulian terhadap kelestarian alam dan lingkungan manusia di dalamnya semakin meningkat.

Citra lingkungan: Masalah yang belum selesai

Citra dapat disejajarkan dengan rupa, bayangan visual, gambaran, wajah, kesan. Saya lebih senang memakai kata ekspresi untuk menggaris bawahi keadaannya saat ini berkaitan dengan lingkungan. Citra lingkungan saat ini sedang dirusak. Ekspresinya saat ini pastilah muram. Siapa lagi kalau bukan manusia penyebabnya. Jangan dulu menyalahkan orang lain. Kita perlu memandang perilaku kita terhadap lingkungan.

Wajah lingkungan yang kini muram kebanyakan disebabkan oleh kita sendiri. Mulai dari penebangan hutan secara liar, pembakaran hutan, maupun hal sepele yang dapat merusak lingkungan. Contoh sederhana adalah penggunaan gelas plastik dalam bertamu atau suguhan pesta. 

Sampah plastik merupakan salah satu ancaman lingkungan yang sering diabaikan orang. Satu contoh kecil tersebut dapat menggambarkan estimasi bagaimana perilaku masyarakat kita secara keseluruhan terhadap lingkungan. Hal ini karena ketidakpedulian masyarakat pada umumnya, yang lebih disebabkan karena ketidaktahuan. Oleh karena itu perlunya suatu edukasi yang memadai mengenai masalah ini.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Patut disyukuri bahwa pemerintah Provinsi Papua melalui Peraturan Daerah Kota Jayapura nomor 19 tahun 2014 telah berusaha mengatur agar lingkungan hidup semestinya dilindungi dan dikelola secara lebih baik demi meningkatkan kesehateraan dan mutu hidup manusia Papua. 

Perda ini merupakan jalan yang sangat baik agar kesehatan masyarakat menjadi lebih terjamin karena didukung oleh tata lingkungan yang sehat. Akan tetapi apakah ini hanya menjadi tugas pemerintah saja?

Menabur kepedulian dari sampah

Tak dapat kita pungkiri bahwa perayaan-perayaan besar yang ada di dalam kehidupan masyarakat Papua kini harus dilihat kembali dalam tatanan perilaku hidup masyarakat yang sehat. Misalnya saja perayaan Natal, Idul Fitri, Tahun Baru, atau pun perayaan-perayaan lainnya akan selalu membawa banyak cerita.

Momen yang diperingati oleh semua masyarakat Papua ini mengungkap banyak realita masyarakat yang sebelumnya tidak tampak. Isu yang paling sederhana, paling dekat, dan bisa benar-benar diperhatikan, adalah penyajian makanan dan minuman untuk menjamu sanak kerabat yang bertamu. 

Orang-orang yang cenderung kedatangan tamu akan menghindari cara paling merepotkan untuk menyajikan dan membereskan minuman dan makanan ke tamu-tamu yang berdatangan setiap hari.

Misalnya saja tentang air minum kemasan praktis. Gelas-gelas kemasan berbahan plastik berisi air siap minum disajikan bersama sedotannya langsung ke para tamu dan dibereskan dengan langsung dibuang. Jika tidak dengan air minum kemasan, perayaan pesta juga cenderung menggunakan gelas plastik tipis yang langsung dibuang setelah dipakai.

Dari sisi pengguna, ini sangat praktis karena tuan rumah tidak perlu mencuci peralatan makan yang digunakan. Namun, masalah baru datang ketika sampah gelas plastik menumpuk di tempat pembuangan akhir. 

Plastik yang menumpuk merupakan masalah karena bahan plastik tidak mudah diuraikan oleh mikroorganisme tanah. Paling cepat, plastik akan lenyap dalam waktu sepuluh ribu tahun. 

Ketika dibakar, plastik akan melepaskan gas metana lebih banyak dan memperparah efek rumah kaca yang meningkatkan suhu global saat ini. Kegiatan daur ulang yang sudah banyak dilakukan tidak cukup berbanding lurus dengan konsumsi saat perayaan-perayaan tersebut. Sampah plastik pun menumpuk.

Kepraktisan yang menjadi permintaan global di tengah hiruk pikuk kebutuhan yang semakin bermekaran jenisnya jelas menang jika dibandingkan dengan usaha menjaga lingkungan yang membawa paradigma "lebih merepotkan". Apalagi jika dampak langsungnya tidak dirasakan. Jika isu ketidakpedulian ini bisa terjadi terhadap kasus sesepele sampah, maka hal tersebut bisa terjadi di berbagai aspek lingkungan lain yang lebih penting.

Namun, ketidakpedulian ini tidak bisa menjadi parameter bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengerti. Pengertian seseorang terhadap masalah yang terjadi di lingkungan tidak menjamin kepeduliannya karena hampir sebagian berpikir tentang akan adanya petugas setiap pagi yang akan membersihkan. Hampir setiap masyarakat mengerti, tapi mereka tidak peduli.

Memberitahu masyarakat bahwa sesuatu adalah masalah merupakan usaha yang cukup sulit. Apalagi jika masyarakat merasa bahwa hal yang sebenarnya merupakan masalah bukan suatu masalah. Padahal jika kita menelusuri secara lebih dalam, masalah ekologi yang terjadi di Papua berawal dari perilaku hidup masyarakat yang kurang menghargai lingkungan. 

Masyarakat mudah terserang malaria karena lingkungannya yang lembab dan jarang dibersihkan. Selain malaria, berbagai penyakit karena masalah lingkungan misalnya TBC juga dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang minim terhadap pentingnya kebersihan.

Oleh karena itu diperlukan usaha dan edukasi yang terus menerus. Usaha edukasi, tidak hanya sosialisasi, harus dilakukan dengan benar dan tidak boleh hanya sekali. Pembelajaran membutuhkan pengulangan untuk memperkuat melekatnya konsep-konsep penting yang menjadi inti dari masalah---bahkan kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi kebenaran. 

Edukasi masyarakat penting karena kita harus memasukkan elemen masyarakat ketika memanajemen lingkungannya masing-masing. Edukasi masyarakat bisa dimulai dari diri sendiri; jangan serta merta melempar tanggung jawab itu kepada para cendekiawan.

Kita bisa memperkaya diri dengan ilmu yang tepat dan terpercaya mengenai isu-isu lingkungan, juga memberikan contoh yang baik; satu teladan lebih baik dari seribu arahan. 

Usaha mengedukasi masyarakat penting dimulai ketika karakter dan pola pikir baru dibentuk; anak-anak dari kecil perlu diajari untuk mencintai alam sehingga timbul kesadaran untuk merawatnya sampai dewasa. Selain meninggalkan lingkungan yang lebih baik bagi anak cucu, kita juga harus meninggalkan generasi muda yang lebih baik bagi lingkungan kita.

Meningkatkan kepedulian ekologi 

Lalu, bagaimana cara agar kita dapat meningkatkan kepedulian ekologi? Salah satu slogan yang biasa didengar ialah tanah sebagai ibu. Slogan ini bukan hal asing lagi. Namun tanah kita sedang direnggut oleh industri tambang dan perkebunan sawit. 

Permasalahan ekologi merupakan aspek urgen dalam penempatan posisi kebudayaan. Namun, kita sedang terjebak. Kekayaan budaya tradisonal ini sedang menghadapi tantangan kebudayaan industri yang begitu besar: era modern yang menjunjung tinggi teknologi dan ilmu pengetahuan untuk sebuah kemajuan.

Kita yang notabene sebagai pewaris tunggal dari kebudayaan, bertanggung jawab akan keberlangsungan dan eksistensi ekologi tersebut. Maka cara peningkatan kepedulian ini ialah dengan menjadikan alam sebagai rumah kita bersama. 

Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa "Rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan bagaikan ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka". 

Jika kita tidak seperti Santo Fransiskus mendekati alam dan lingkungan dengan keterbukaan untuk kagum dan heran, "Kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak".

Memang tak mampu dihindari bahwa perkembangan teknologi menjadikan kita lebih mapan. Ada kecenderungan untuk berpikir bahwa peningkatan kekuasaan merupakan peningkatan kemajuan. Hal ini pun diperparah dengan tujuan yang terkadang bersifat individu semata. Maka, nampak jelas bahwa krisis identitas manusia menempatkannya pada persimpangan jalan. 

Di satu lorong kita terlena dengan keindahan teknologi yang mampu menjerumuskan kita pada matinya hati nurani terhadap ekologi. Sedangkan di lorong lain kita hampir-hampir tak mau menoleh pada rintihan ekologi yang notabene terlalu lama mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri.

Siapa yang mau disalahkan atas terciptanya kedua lorong ini? Yang jelas, kita bukan ingin mencari kambing hitam, melainkan senantiasa berupaya menghidupkan kembali nilai-nilai moral, tanggung jawab dan hati nurani di antara situasi kemajuan teknologi yang menawarkan budaya instan. 

Kita perlu berali dari krisis dan efek dari antroposentrisme modern bahwa kita tidak dipanggil untuk menjadi penguasa dunia, tetapi pengelola yang bertanggung jawab.  Tidak akan ada hubungan baru dengan alam kalau manusia tidak dibaharui dan tidak ada ekologi tanpa antropologi yang memadai.

Selain itu, masalah lingkungan berikatan erat dengan masalah sosial sehingga sudah selayaknya memerhatikan aspek masyarakat. Mereka yang mempelajari sains tidak seharusnya membatasi diri terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan agar apa yang mereka pelajari dapat berguna langsung bagi masyarakat.

Di sinilah saat ketika tugas para cendekia menjadi nyata: mempelajari bidang mereka secara mendalam dan memahami cara mengajarkannya atau mengaplikasikannya kepada masyarakat. 

Sistem pendidikan di negara kita tercinta masih mengotakkan kedua aspek tersebut dengan kurang memerhatikan kedalaman ilmu sekolah pendidikan maupun mengabaikan aspek sosial pembelajaran ilmu alam. Namun, memberi pemahaman kepada masyarakat dan pemerintah adalah tugas semua elemen masyarakat.

Semua harus menyadari bahwa dengan kekuatan yang besar, timbul pula tanggung jawab yang besar. Perlu pendekatan yang dibangun di atas serangkaian dialog yang harus dilakukan baik dialog tentang lingkungan di masyarakat internasional, dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal, dialog untuk transparansi dalam pengambilan keputusan, dialog antara politik dan ekonomi demi pemenuhan manusia dan dialog antara agama dan ilmu pengetahuan.

Sudah cukup banyak solusi untuk segala masalah lingkungan, baik dari hasil inovasi generasi muda maupun percontohan dari berbagai etnis atau golongan masyarakat.

Di media massa ada berita mengenai tentang alat pengubah asap rokok menjadi oksigen dan pasta gigi ramah lingkungan berbahan cangkang kerang. Banyak kisah mengenai kiprah aktivis-aktivis lingkungan yang tak kenal menyerah mencari solusi memertahankan jasa ekologis yang kita pakai.

Semua itu memerlukan implementasi tindakan dan peraturan yang didasari pemahaman, atau tinggal wacana. Semua elemen masyarakat harus memahami bahwa dalam mengelola lingkungan, aspek keterpaduan harus dipahami. 

Lingkungan merupakan kumpulan interaksi sehingga harus dikelola secara holistik, dan ini membutuhkan pengertian semua pihak yang terlibat. Kepedulian dan pengetahuan seluruh elemen masyarakat menjadi kunci di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun