Tak dapat kita pungkiri bahwa perayaan-perayaan besar yang ada di dalam kehidupan masyarakat Papua kini harus dilihat kembali dalam tatanan perilaku hidup masyarakat yang sehat. Misalnya saja perayaan Natal, Idul Fitri, Tahun Baru, atau pun perayaan-perayaan lainnya akan selalu membawa banyak cerita.
Momen yang diperingati oleh semua masyarakat Papua ini mengungkap banyak realita masyarakat yang sebelumnya tidak tampak. Isu yang paling sederhana, paling dekat, dan bisa benar-benar diperhatikan, adalah penyajian makanan dan minuman untuk menjamu sanak kerabat yang bertamu.Â
Orang-orang yang cenderung kedatangan tamu akan menghindari cara paling merepotkan untuk menyajikan dan membereskan minuman dan makanan ke tamu-tamu yang berdatangan setiap hari.
Misalnya saja tentang air minum kemasan praktis. Gelas-gelas kemasan berbahan plastik berisi air siap minum disajikan bersama sedotannya langsung ke para tamu dan dibereskan dengan langsung dibuang. Jika tidak dengan air minum kemasan, perayaan pesta juga cenderung menggunakan gelas plastik tipis yang langsung dibuang setelah dipakai.
Dari sisi pengguna, ini sangat praktis karena tuan rumah tidak perlu mencuci peralatan makan yang digunakan. Namun, masalah baru datang ketika sampah gelas plastik menumpuk di tempat pembuangan akhir.Â
Plastik yang menumpuk merupakan masalah karena bahan plastik tidak mudah diuraikan oleh mikroorganisme tanah. Paling cepat, plastik akan lenyap dalam waktu sepuluh ribu tahun.Â
Ketika dibakar, plastik akan melepaskan gas metana lebih banyak dan memperparah efek rumah kaca yang meningkatkan suhu global saat ini. Kegiatan daur ulang yang sudah banyak dilakukan tidak cukup berbanding lurus dengan konsumsi saat perayaan-perayaan tersebut. Sampah plastik pun menumpuk.
Kepraktisan yang menjadi permintaan global di tengah hiruk pikuk kebutuhan yang semakin bermekaran jenisnya jelas menang jika dibandingkan dengan usaha menjaga lingkungan yang membawa paradigma "lebih merepotkan". Apalagi jika dampak langsungnya tidak dirasakan. Jika isu ketidakpedulian ini bisa terjadi terhadap kasus sesepele sampah, maka hal tersebut bisa terjadi di berbagai aspek lingkungan lain yang lebih penting.
Namun, ketidakpedulian ini tidak bisa menjadi parameter bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengerti. Pengertian seseorang terhadap masalah yang terjadi di lingkungan tidak menjamin kepeduliannya karena hampir sebagian berpikir tentang akan adanya petugas setiap pagi yang akan membersihkan. Hampir setiap masyarakat mengerti, tapi mereka tidak peduli.
Memberitahu masyarakat bahwa sesuatu adalah masalah merupakan usaha yang cukup sulit. Apalagi jika masyarakat merasa bahwa hal yang sebenarnya merupakan masalah bukan suatu masalah. Padahal jika kita menelusuri secara lebih dalam, masalah ekologi yang terjadi di Papua berawal dari perilaku hidup masyarakat yang kurang menghargai lingkungan.Â
Masyarakat mudah terserang malaria karena lingkungannya yang lembab dan jarang dibersihkan. Selain malaria, berbagai penyakit karena masalah lingkungan misalnya TBC juga dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang minim terhadap pentingnya kebersihan.