Mohon tunggu...
khafidzah Azmi Hanifah
khafidzah Azmi Hanifah Mohon Tunggu... Administrasi - pelajar

hobi membaca, travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebambangan, Adat yang Menjadi Dilema

16 Februari 2023   05:50 Diperbarui: 16 Februari 2023   06:01 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.infobudaya.com/

ANALISIS HUKUM PERNIKAHAN SEBAMBANGAN BERDASARKAN KAIDAH AL-‘ADAH AL-MUHAKKAMAH 

Tradisi sebambangan merupakan serangkaian proses peminangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam budaya Lampung. Masingmasing daerah pastinya akan memiliki keunikan tersendiri dalam melangsungkan perkawinan yang dapat dijadikan sebagai ciri khas untuk membedakan suatu daerah dengan daerah lainnya. Memang tidak tertulis kapan tradisi ini mulai dilakukan, namun dapat dipastikan jika tradisi ini sudah ada sebelum tahun 1600 M. 

Masyarakat Lampung menganut 5 prinsip hidup yang dianggap sebagai salah satu faktor terciptanya tradisi sebambangan ini:

  • Piil Pesenggiri  

Suatu pandangan hidup yang mempertahankan harga diri. Budaya harga diri bagi masyarakat Lampung menunjukkan adanya sikap menghindar dari perbuatan tercela baik bagi dirinya, keluarganya maupun kelompoknya. Masyarakat Lampung dalam mempertahankan harga dirinnya dapat mempertaruhkan apa saja, baik daya bahkan nyawa sekalipun. Demikian pepatah Lampung “Dari pada hidup berputih mata, lebih baik mati bekalang  tanah” yang artinya dari pada hidup penuh dengan rasa tak peduli, lebih baik kita mati saja.

  • Bejuluk Beadek

Pemberian gelar kehormatan melalui upacara adat besar dengan naik tahta adat. Ketika sudah menyandang gelar tersebut maka secara moral seorang tersebut dituntut sebagai panutan bagi masyarakat sekitar.

  • Nengah Nyapur

Nengah artinya suka berkenalan dengan siapapun dan nyapur artinya bersahabat karena pandai bergaul dalam masyarakat. Sikap nengah nyapur bagi masyarakat Lampung merupakan suatu keharusan dalam kelompok kekerabatan maupun ketetanggaan dan termasuk perwujudan dari sikap kepedulian terhadap lingkungan sosialnya.

  • Nemui Nyimah

Nemui artinya membuka diri untuk menerima tamu dan nyimah artinya keinginan untuk memberi sesuatu dengan ikhlas kepada seseorang sebagai tanda akrab. Perilaku ini menunjukan sikap toleransi yang tinggi terhadap sesama walaupun dengan latarbelakang prinsip yang berbeda. 

  • Sakai Sambaian

Sakai sambaian artinya tolong menolong. Prilaku ini bagi masyarakat Lampung dilaksanakan atas dasar kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggaan. Diwujudkan dalam bentuk kegiatan meringankan beban orang lain yang sedang megalami penderitaan atau musibah, dan meringankan pekerjaan berat, baik yang bersifat kepentingan pribadi maupun kelompok. 

Berdasarkan prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Lampung, maka dapat dipastikan adanya tradisi sebambangan ini merupakan bentuk mempertahankan harga diri. Bahwa seorang wanita yang dibawa lari oleh laki-laki yang mengajak dirinya untuk sebambangan akan naik derajatnya dan keluarganya akan sangat dihormati, karena dalam tradisi sebambangan terdapat unsur tolong-menolong, musyawarah dan bersedia menerima tamu dengan baik. Oleh sebab itu, setelah dilaksanakannya sebambangan maka dapat dipastikan perkawinan akan terjadi. Guna memperjelas status hukum pernikahan sebambangan berdasarkan kaidah al-Adah al-Muhakkamah maka penulis menuturkan pola analisis: 

Para ulama telah menetapkan beberapa syarat agar ‘adat dan ‘urf dapat diaplikasikan di kalangan masyarakat, diantaranya:

1.) ‘Adat atau‘urf yang berlaku umum di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut atau di kalangan sebagian besar warganya.[1] 

Masyarakat Lampung sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi mereka. Salah satu tradisi yang ada di dalam masyarakat Lampung adalah sebambangan, alasan utama mengapa pelaku sebambangan memilih langkah ini karena ketidaksetujuan orangtua mulei dikarenakan beberapa sebab-sebab sebagai berikut:

Status sosial yang berbeda, keluarga mekhanai lebih rendah status sosial nya dari keluarga mulei.  

Mulei telah dijodohkan dengan orang lain.

Pihak mekhanai tidak mampu memenuhi persyaratan yang di

syaratkan oleh keluarga si mulei, dikarenakan tingginya permintaan.

Adapun adat yang mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari merupakan warisan leluhur yang mereka tetap jaga kelestariannya, maka mereka tidak begitu saja mengabaikan kaidah-kaidah adat yang sudah mereka pegang teguh dari generasi ke generasi.[2] Karena menurut mereka adat mempunyai arti lebih dari sekedar kebiasaan, akan tetapi mencakup nilai, etika, dan hukum yang bertujuan untuk mewujudkan tingkah laku yang ideal.[3]

2.)  ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah berlaku sejak awal bukan ‘urf yang muncul kemudian. Maka dari itu ‘urf harus ada terlebih dahulu sebelum hukum ditetapkan. Jika ‘urf datang kemudian maka tidak bisa menjadi perhitungan dalam menetapkan hukum.[4]

Sebagaimana yang telah dijelaskan, prosesi sebambangan ini merupakan salah satu cara agar mulei dan mekhanai bisa direstui oleh orang tua mulei. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1600-an, tatacara pelaksanaan tradisi sebambangan tersebut terjadi sebelum ada proses perkawinan, yaitu dengan cara pria membawa wanita yang disukainya ke rumahnya atau ke rumah saudara-saudaranya seperti paman, bibi yang masih ada hubungan darah untuk mendapatkan restu dari orang tua si gadis. 

Ini merupakan tradisi masyarakat Lampung asli, budaya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Kendati demikian sebambangan ini pun akan berujung pernikahan jika kedua pihak keluarga telah menyetujuinya. Jadi dapat dipastikan tradisi ini bukan tradisi yang baru muncul tapi namun tradisi ini muncul bersaman dengan adanya mayarakat Lampung.

3.)  ‘Adat tidak bertentangan dengan dalil syara’[5]

Sebagaimana dalam kaidah fikih:

“Setiap ‘urf yang bertentangan dengan nash syar’i maka tidak akan diaplikasikan”[6] 

Kaidah ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan ‘adat shahih karena kalau ‘adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’ maka ia termasuk ‘adat yang  fasid yang telah disepakati oleh ulama untuk menolaknya.[7]

Dari penjelasan syarat-syarat adat di atas, jika dikaitkan dengan prosesi pernikahan sebambangan maka, ada beberapa prosesi yang perlu dicermati, diantaranya: 

Melarikan anak gadis yang belum sah dalam adat Lampung sudah menjadi sebuah tradisi dan salah satu cara agar mulei dan  mekhanai bisa bersatu dalam ikatan pernikahan yang sah. Menurut adat Lampung pernikahan sebambangan diperbolehkan karena pada pelaksanaanya tidak mengurangi salah satu syarat sahnya pernikahan. 

Sedangkan jika ditinjau dalam Islam, melarikan wanita yang bukan mahramnya merupakan hak yang melanggar syari’at dengan kata lain, tradisi ini tidak sesuai dengan apa yang disyari’atkan karena dalam proses ini mulei dan mekhanai sudah dulu berinteraksi sebelum akad berlangsung, contohnya berkhalwat ini melanggar syariat Allah dalam Q.S al-Isra’: 32

وَ لاَ تَقْرَبُوا الزِنَى إِنَّهُ كَانَ فَحِشَةً وَسَآءَ سَبِيْلاً

"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” 

Tertulis dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwasanya, Allah berfirman, Dia melarang hamba-Nya berbuat zina dan mendekati zina, serta melakukan faktor-faktor dan aspek-aspek yang mengantarkan kepada perbuatan zina. Yakni  وَ لاَ تَقْرَبُوا الزِنَى إِنَّهُ كَانَ فَحِشَةً    “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah sesuatu perbuatan keji.” Yakni suatu perbuatan dosa besar. وَسَآءَ سَبِيْلاً          “Dan suatu jalan yang buruk.” Yakni seburuk-buruk jalan dan karakter.[8] Para ulama berkata, “Allah SWT berfirman,  وَ لاَ تَقْرَبُوا الزِنَى         “Dan janganlah kamu mendekati zina”. Kalimat ini lebih baligh (mendalam) dari pada kalimat وَلاَ تَزْنُوا “Janganlah kalian semua berzina), karena maknanya adalah “jangan mendekati zina.”[9] Sedangkan سَبِيْلاً “Suatu jalan” mansub karena sebagai tamyiz. Aslinya وَسَاء سَبِيْلُهُ سَبِيْلاً “Jalan adalah sebuah seburuk-buruk jalan,” karena dia menjerumuskan keneraka dan zina sebagai dosa besar. Juga tidak terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan keburukannya, apalagi dilakukan dengan istri tetangga. Karena akan muncul dari perbuatan itu seorang anak orang lain yang menjadi anak sendiri dan lain sebagainya, sehingga muncul masalah dalam hal warisan dan kerusakan nasab karena bercampurnya mani. Di dalam Ash-Shahih bahwa suatu ketika Nabi SAW berlalu di dekat seorang wanita yang sedang hamil tua di depan pintu Fusthath lalu beliau bersabda yang artinya “Kiranya dia hendak bersetubuh degannya. Para sahabat menjawab, “ya”. Maka Rasulullah bersabda, “Aku ingin melaknatnya dengan lakna yang mengikutinnya hingga liang kubur bersamanya. Bagaimana dia mewarisinya sedangkan dia tidak halal baginya dan bagaimana pula dia mempekerjakannya sedangkan dia tidak halal baginya.”[10]

maka ‘urf yang terkandung dalam tradisi ini merupakan ‘urf fasid karena telah bertentangan dengan dalil syara’ seperti penjelasan di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun