Masyarakat Lampung sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi mereka. Salah satu tradisi yang ada di dalam masyarakat Lampung adalah sebambangan, alasan utama mengapa pelaku sebambangan memilih langkah ini karena ketidaksetujuan orangtua mulei dikarenakan beberapa sebab-sebab sebagai berikut:
Status sosial yang berbeda, keluarga mekhanai lebih rendah status sosial nya dari keluarga mulei. Â
Mulei telah dijodohkan dengan orang lain.
Pihak mekhanai tidak mampu memenuhi persyaratan yang di
syaratkan oleh keluarga si mulei, dikarenakan tingginya permintaan.
Adapun adat yang mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari merupakan warisan leluhur yang mereka tetap jaga kelestariannya, maka mereka tidak begitu saja mengabaikan kaidah-kaidah adat yang sudah mereka pegang teguh dari generasi ke generasi.[2] Karena menurut mereka adat mempunyai arti lebih dari sekedar kebiasaan, akan tetapi mencakup nilai, etika, dan hukum yang bertujuan untuk mewujudkan tingkah laku yang ideal.[3]
2.)  ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah berlaku sejak awal bukan ‘urf yang muncul kemudian. Maka dari itu ‘urf harus ada terlebih dahulu sebelum hukum ditetapkan. Jika ‘urf datang kemudian maka tidak bisa menjadi perhitungan dalam menetapkan hukum.[4]
Sebagaimana yang telah dijelaskan, prosesi sebambangan ini merupakan salah satu cara agar mulei dan mekhanai bisa direstui oleh orang tua mulei. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1600-an, tatacara pelaksanaan tradisi sebambangan tersebut terjadi sebelum ada proses perkawinan, yaitu dengan cara pria membawa wanita yang disukainya ke rumahnya atau ke rumah saudara-saudaranya seperti paman, bibi yang masih ada hubungan darah untuk mendapatkan restu dari orang tua si gadis.Â
Ini merupakan tradisi masyarakat Lampung asli, budaya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Kendati demikian sebambangan ini pun akan berujung pernikahan jika kedua pihak keluarga telah menyetujuinya. Jadi dapat dipastikan tradisi ini bukan tradisi yang baru muncul tapi namun tradisi ini muncul bersaman dengan adanya mayarakat Lampung.
3.)  ‘Adat tidak bertentangan dengan dalil syara’[5]
Sebagaimana dalam kaidah fikih: