“Setiap ‘urf yang bertentangan dengan nash syar’i maka tidak akan diaplikasikan”[6]
Kaidah ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan ‘adat shahih karena kalau ‘adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’ maka ia termasuk ‘adat yang fasid yang telah disepakati oleh ulama untuk menolaknya.[7]
Dari penjelasan syarat-syarat adat di atas, jika dikaitkan dengan prosesi pernikahan sebambangan maka, ada beberapa prosesi yang perlu dicermati, diantaranya:
Melarikan anak gadis yang belum sah dalam adat Lampung sudah menjadi sebuah tradisi dan salah satu cara agar mulei dan mekhanai bisa bersatu dalam ikatan pernikahan yang sah. Menurut adat Lampung pernikahan sebambangan diperbolehkan karena pada pelaksanaanya tidak mengurangi salah satu syarat sahnya pernikahan.
Sedangkan jika ditinjau dalam Islam, melarikan wanita yang bukan mahramnya merupakan hak yang melanggar syari’at dengan kata lain, tradisi ini tidak sesuai dengan apa yang disyari’atkan karena dalam proses ini mulei dan mekhanai sudah dulu berinteraksi sebelum akad berlangsung, contohnya berkhalwat ini melanggar syariat Allah dalam Q.S al-Isra’: 32
وَ لاَ تَقْرَبُوا الزِنَى إِنَّهُ كَانَ فَحِشَةً وَسَآءَ سَبِيْلاً
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Tertulis dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwasanya, Allah berfirman, Dia melarang hamba-Nya berbuat zina dan mendekati zina, serta melakukan faktor-faktor dan aspek-aspek yang mengantarkan kepada perbuatan zina. Yakni وَ لاَ تَقْرَبُوا الزِنَى إِنَّهُ كَانَ فَحِشَةً “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah sesuatu perbuatan keji.” Yakni suatu perbuatan dosa besar. وَسَآءَ سَبِيْلاً “Dan suatu jalan yang buruk.” Yakni seburuk-buruk jalan dan karakter.[8] Para ulama berkata, “Allah SWT berfirman, وَ لاَ تَقْرَبُوا الزِنَى “Dan janganlah kamu mendekati zina”. Kalimat ini lebih baligh (mendalam) dari pada kalimat وَلاَ تَزْنُوا “Janganlah kalian semua berzina), karena maknanya adalah “jangan mendekati zina.”[9] Sedangkan سَبِيْلاً “Suatu jalan” mansub karena sebagai tamyiz. Aslinya وَسَاء سَبِيْلُهُ سَبِيْلاً “Jalan adalah sebuah seburuk-buruk jalan,” karena dia menjerumuskan keneraka dan zina sebagai dosa besar. Juga tidak terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan keburukannya, apalagi dilakukan dengan istri tetangga. Karena akan muncul dari perbuatan itu seorang anak orang lain yang menjadi anak sendiri dan lain sebagainya, sehingga muncul masalah dalam hal warisan dan kerusakan nasab karena bercampurnya mani. Di dalam Ash-Shahih bahwa suatu ketika Nabi SAW berlalu di dekat seorang wanita yang sedang hamil tua di depan pintu Fusthath lalu beliau bersabda yang artinya “Kiranya dia hendak bersetubuh degannya. Para sahabat menjawab, “ya”. Maka Rasulullah bersabda, “Aku ingin melaknatnya dengan lakna yang mengikutinnya hingga liang kubur bersamanya. Bagaimana dia mewarisinya sedangkan dia tidak halal baginya dan bagaimana pula dia mempekerjakannya sedangkan dia tidak halal baginya.”[10]
maka ‘urf yang terkandung dalam tradisi ini merupakan ‘urf fasid karena telah bertentangan dengan dalil syara’ seperti penjelasan di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H