Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beda Istana Merdeka, Lain Pemda Gowa, tentang Merawat Kearifan Nusantara

4 Oktober 2016   13:44 Diperbarui: 4 Oktober 2016   13:53 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat gelaran unik di Istana Merdeka beberapa waktu lalu? Ketika penyambutan tamu negara yang berbeda dari kaprahnya terdahulu. Presiden Jokowi menyambut Perdana Menteri Selandia Baru, John Key, dan istrinya, Bronagh Key, dengan aksentuasi kerajaan saat itu (18/7).

Bertolak dari area Monas, John bareng istrinya diantar iring-iringan prajurit berkostum sejumlah kerajaan Nusantara lengkap dengan pasukan berkuda, menuju Istana yang lantas disambut ratusan pelajar dan upacara militer. Inisiatif yang dicetuskan Presiden tersebut menuai apresiasi banyak kalangan. Seremoni macam itu akan digelar untuk tamu negara lain di kemudian hari.

Kendati mungkin awalnya ide asyik demikian sekadar agar atmosfer Istana menjadi lebih segar, tapi juga menyiratkan spirit penghargaan terhadap eksistensi kerajaan-kerajaan tempo dulu. Bagaimanapun kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara, di antaranya tampak masih eksis secara kultur hingga kini, adalah bagian sejarah panjang NKRI yang tak bisa dinafikan.

Eksistensi kerajaan-kerajaan dengan segala rekam kesejarahannya terhitung aset budaya yang kalau dirawat secara arif dan bijaksana, akan menyumbangkan nilai pada upaya memajukan peradaban sekurangnya khazanah keindonesiaan tersendiri hari ini maupun esok. Gagasan menerima tamu negara dengan parade pasukan itu patut diapresiasi, sebagaimana budayawan M Sobary mengapresiasi komitmen Presiden Jokowi dalam kesenian. Lebih-lebih dengan bergulirnya wacana paket kebijakan budaya meski belum konkret realisasinya.

Di tempat terpisah, kita tersentak kisruh Pemda dan Kerajaan Gowa baru-baru ini. Konflik yang merebak lantas berbuntut pembakaran gedung DPRD –berawal (provokasi)– lemparan batu dari dalam gedung wakil rakyat daerah itu ke arah massa yang sedang berunjuk rasa (Kompas). Tentu aktivitas para sedulur terganggu, selain beritanya menjadi perbincangan nasional.

Jika menyimak pemberitaan, konflik pecah bercikal dari Perda Kabupaten Gowa Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penataan Lembaga Adat dan Budaya Daerah, yang diresmikan oleh DPRD setempat. Perda ini menempatkan Bupati Gowa sebagai Ketua Lembaga Adat Daerah sekaligus berkedudukan di atas Raja (Somba atau Sombayya) berikutnya.

Masyarakat lalu bereaksi menyatakan sikap penolakan, karena Bupati dianggap hendak menjadi Raja selanjutnya. Dalam perkembangannya juga muncul Petisi online bertajuk Menolak Bupati Gowa Menjadi Somba, mengingat sejatinya penetapan Raja secara garis keturunan melalui prosesi tersendiri oleh Dewan Adat dan bukan regulasi eksekutif bersama legislatif.

Bupati Gowa sendiri beralasan, siapapun pemegang tampuk Pemkab Gowa sama dengan Raja Gowa pada era kerajaan lampau. Itu merujuk saat Kesultanan Gowa yang dipimpin Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang, bergabung dengan NKRI dulu. Kesultanan Gowa lantas menjadi wilayah administratif Kabupaten dan Andi Idjo menjabat Raja sekaligus Bupati Pertama di Gowa.

Alasan lainnya dikatakan terjadi kekeliruan penafsiran tentang pengangkatan Raja, karena sistem Kerajaan Gowa berbeda. Raja Gowa pada masanya diangkat oleh Bate Salapang atau perwakilan masyarakat dari wilayah di bawah Kerajaan Gowa, disamakan DPRD pada abad sekarang, dan bukan estafet turun-temurun.

Pendekatan Budaya untuk Menangani Konflik
Sebagai bagian masyarakat-budaya Nusantara, boleh-boleh saja kita turut mencermati persoalan itu. Dalam hal ini, patut disesalkan saat Kemendagri terkesan kurang responsif menyikapinya, sehingga terjadi insiden taruhlah pembakaran bangunan DPRD yang tidak diharapkan. Entah bagaimana potensi konflik adanya Perda terkait tidak terendus, padahal sebelumnya konon rumusannya sempat dikonsultasikan pada jajaran Kemendagri.

Rasanya, upaya penanganannya tidak cukup kondusif dengan pendekatan hukum semisal ajuan judicial review, atau politik terlebih politik pragmatis. Kesannya juga tidak nyambung dengan spirit tradisi parade pasukan kerajaan oleh Istana untuk menyambut tamu negara tersebut. Sedangkan jika merunut sejenak ke belakang, pernah terlaksana forum Silaturahmi Nasional Pewaris Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, di mana Kerajaan Gowa sempat disebut dalam sambutan Presiden sebelumnya tahun 2009 lalu.

Dalih dengan rujukan babak historis Raja Gowa ke-36, bertepatan pernyataan sikap bergabung dalam NKRI menyisakan pula ganjalan pikiran. Momentum itu seyogianya dipahami kebetulan Raja sekaligus kemudian menjabat Bupati Gowa, bukan justifikasi yang mengondisikan sebaliknya tho? Mengingat, bukan mustahil tradisi yang melingkupi jabatan Raja dan Bupati tetap ada yang berlainan.

I Kumala Andi Ijo sendiri ketika dinobatkan sebagai Raja Gowa ke-37 pada September 2014, sebenarnya telah menegaskan peleburan itu secara budaya dengan membedakan bahwa, raja-raja dahulu kala harus bertahta di istana kerajaan namun tidak demikian halnya sekarang. Ia pun memandang prosesi penobatan yang dijalaninya –hanya semacam– penahbisan gelar kebangsawanan sejalan adat turun-temurun generasi penerus kerajaan Gowa (Kabar Makassar).

Tulisan klarifikasi yang diunggah di akun media sosial Bupati Gowa walau mungkin bukan penjelasan resmi, kiranya perlu dicermati seksama lebih jauh bila tidak boleh menyebutnya kental bernuansa politis. Lagi pula, mengapa penetapan dirinya hanya selaku Ketua LAD dilakukan layaknya penobatan raja yo?

Karena itu, muatan Perda itu hendaknya segera ditinjau ulang. Seandainya memang potensial bermasalah yang bisa memicu kemudaratan, lebih baik dipertimbangkan pencabutan atau pembatalannya demi kemaslahatan masyarakat luas. Bila juga berkembang indikasi tindakan kriminal, kudu diusut tuntas sehingga tidak mengusik ketenteraman publik. Selebihnya, kita perlu membugarkan kesadaran kolektif untuk merawat kearifan Nusantara dengan cara yang mengademkan.

Ini petikan keterangan dalam akun Bupati Gowa, saya hanya sedikit menandai bagian-bagian yang terasa mengganjal dalam benak pribadi, lantaran terasa ambigu yang kemungkinan memantik protes. Selanjutnya terserah sampean.

...Gowa dulu adalah kerajaan terbesar kemudian bertransisi menjadi Pemerintah Tk II Gowa, makanya Andi Idjo Karaeng Lalolang yang saat itu sebagai Raja Gowa ke-36 menjadi Bupati pertama di Gowa. Karena pada zamanya lah, Kerajaan Gowa menyatu dengan NKRI. Saat pernyataan Kerajaan Gowa masuk dalam NKRI, Andi Idjo Karaeng Lalolang juga mendeklarasikan diri sebagai raja terakhir.

Artinya tidak ada lagi Raja di Gowa setelah Andi Idjo Krg Lalolang, karena sudah berganti nama menjadi Bupati. Olehnya itu siapapun Bupati di Gowa, maka dia sama dengan Raja Gowa, di zaman kerajaan. Itu juga yang mendasari Andi Idjo saat menyatakan bergabung dengan NKRI diangkat sebagai Bupati Gowa pertama.

Makanya Perda LAD mengatur struktur, bahwa Bupati sebagai KETUA LAD yang menjalankan fungsi Sombayya. Sekali lagi hanya menjalankan fungsi sebagai Sombayya.

Sombayya dulunya adalah pimpinan tertinggi di Kerajaan Gowa. Setelah bergabung dengan NKRI dan berstatus Daerah Tk II Gowa, bupati yang menjadi pimpinan tertinggi.

Yang masuk dalam LAD ini bukan pribadinya/bukan individunya tapi jabatannya, sehingga sapapun yg menjadi Bupati Gowa/Wakil Bupati/Sekda, dia punya tugas dan tanggung jawab menjaga seluruh asset peninggalan sejarah serta melestarikan adat dan budaya Kabupaten Gowa.” (Sahabat News).

Ilustrasi: Jokowi-TV

Referensi bacaan:
Kompas – Jokowi Ubah Tradisi Istana
Kompas – Bupati Mau Jadi Raja
Petisi – Menolak Bupati Gowa Menjadi Somba
Setneg – Silaturahmi Nasional Pewaris Kerajaan dan Kesultanan Nusantara 2009
News Viva – Musabab Kisruh Kerajaan Gowa
Jawa Pos – Brankas Kerajaan Gowa Dibobol?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun