Masih ingat gelaran unik di Istana Merdeka beberapa waktu lalu? Ketika penyambutan tamu negara yang berbeda dari kaprahnya terdahulu. Presiden Jokowi menyambut Perdana Menteri Selandia Baru, John Key, dan istrinya, Bronagh Key, dengan aksentuasi kerajaan saat itu (18/7).
Bertolak dari area Monas, John bareng istrinya diantar iring-iringan prajurit berkostum sejumlah kerajaan Nusantara lengkap dengan pasukan berkuda, menuju Istana yang lantas disambut ratusan pelajar dan upacara militer. Inisiatif yang dicetuskan Presiden tersebut menuai apresiasi banyak kalangan. Seremoni macam itu akan digelar untuk tamu negara lain di kemudian hari.
Kendati mungkin awalnya ide asyik demikian sekadar agar atmosfer Istana menjadi lebih segar, tapi juga menyiratkan spirit penghargaan terhadap eksistensi kerajaan-kerajaan tempo dulu. Bagaimanapun kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara, di antaranya tampak masih eksis secara kultur hingga kini, adalah bagian sejarah panjang NKRI yang tak bisa dinafikan.
Eksistensi kerajaan-kerajaan dengan segala rekam kesejarahannya terhitung aset budaya yang kalau dirawat secara arif dan bijaksana, akan menyumbangkan nilai pada upaya memajukan peradaban sekurangnya khazanah keindonesiaan tersendiri hari ini maupun esok. Gagasan menerima tamu negara dengan parade pasukan itu patut diapresiasi, sebagaimana budayawan M Sobary mengapresiasi komitmen Presiden Jokowi dalam kesenian. Lebih-lebih dengan bergulirnya wacana paket kebijakan budaya meski belum konkret realisasinya.
Di tempat terpisah, kita tersentak kisruh Pemda dan Kerajaan Gowa baru-baru ini. Konflik yang merebak lantas berbuntut pembakaran gedung DPRD –berawal (provokasi)– lemparan batu dari dalam gedung wakil rakyat daerah itu ke arah massa yang sedang berunjuk rasa (Kompas). Tentu aktivitas para sedulur terganggu, selain beritanya menjadi perbincangan nasional.
Jika menyimak pemberitaan, konflik pecah bercikal dari Perda Kabupaten Gowa Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penataan Lembaga Adat dan Budaya Daerah, yang diresmikan oleh DPRD setempat. Perda ini menempatkan Bupati Gowa sebagai Ketua Lembaga Adat Daerah sekaligus berkedudukan di atas Raja (Somba atau Sombayya) berikutnya.
Masyarakat lalu bereaksi menyatakan sikap penolakan, karena Bupati dianggap hendak menjadi Raja selanjutnya. Dalam perkembangannya juga muncul Petisi online bertajuk Menolak Bupati Gowa Menjadi Somba, mengingat sejatinya penetapan Raja secara garis keturunan melalui prosesi tersendiri oleh Dewan Adat dan bukan regulasi eksekutif bersama legislatif.
Bupati Gowa sendiri beralasan, siapapun pemegang tampuk Pemkab Gowa sama dengan Raja Gowa pada era kerajaan lampau. Itu merujuk saat Kesultanan Gowa yang dipimpin Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang, bergabung dengan NKRI dulu. Kesultanan Gowa lantas menjadi wilayah administratif Kabupaten dan Andi Idjo menjabat Raja sekaligus Bupati Pertama di Gowa.
Alasan lainnya dikatakan terjadi kekeliruan penafsiran tentang pengangkatan Raja, karena sistem Kerajaan Gowa berbeda. Raja Gowa pada masanya diangkat oleh Bate Salapang atau perwakilan masyarakat dari wilayah di bawah Kerajaan Gowa, disamakan DPRD pada abad sekarang, dan bukan estafet turun-temurun.
Pendekatan Budaya untuk Menangani Konflik
Sebagai bagian masyarakat-budaya Nusantara, boleh-boleh saja kita turut mencermati persoalan itu. Dalam hal ini, patut disesalkan saat Kemendagri terkesan kurang responsif menyikapinya, sehingga terjadi insiden taruhlah pembakaran bangunan DPRD yang tidak diharapkan. Entah bagaimana potensi konflik adanya Perda terkait tidak terendus, padahal sebelumnya konon rumusannya sempat dikonsultasikan pada jajaran Kemendagri.
Rasanya, upaya penanganannya tidak cukup kondusif dengan pendekatan hukum semisal ajuan judicial review, atau politik terlebih politik pragmatis. Kesannya juga tidak nyambung dengan spirit tradisi parade pasukan kerajaan oleh Istana untuk menyambut tamu negara tersebut. Sedangkan jika merunut sejenak ke belakang, pernah terlaksana forum Silaturahmi Nasional Pewaris Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, di mana Kerajaan Gowa sempat disebut dalam sambutan Presiden sebelumnya tahun 2009 lalu.