Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beda Istana Merdeka, Lain Pemda Gowa, tentang Merawat Kearifan Nusantara

4 Oktober 2016   13:44 Diperbarui: 4 Oktober 2016   13:53 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalih dengan rujukan babak historis Raja Gowa ke-36, bertepatan pernyataan sikap bergabung dalam NKRI menyisakan pula ganjalan pikiran. Momentum itu seyogianya dipahami kebetulan Raja sekaligus kemudian menjabat Bupati Gowa, bukan justifikasi yang mengondisikan sebaliknya tho? Mengingat, bukan mustahil tradisi yang melingkupi jabatan Raja dan Bupati tetap ada yang berlainan.

I Kumala Andi Ijo sendiri ketika dinobatkan sebagai Raja Gowa ke-37 pada September 2014, sebenarnya telah menegaskan peleburan itu secara budaya dengan membedakan bahwa, raja-raja dahulu kala harus bertahta di istana kerajaan namun tidak demikian halnya sekarang. Ia pun memandang prosesi penobatan yang dijalaninya –hanya semacam– penahbisan gelar kebangsawanan sejalan adat turun-temurun generasi penerus kerajaan Gowa (Kabar Makassar).

Tulisan klarifikasi yang diunggah di akun media sosial Bupati Gowa walau mungkin bukan penjelasan resmi, kiranya perlu dicermati seksama lebih jauh bila tidak boleh menyebutnya kental bernuansa politis. Lagi pula, mengapa penetapan dirinya hanya selaku Ketua LAD dilakukan layaknya penobatan raja yo?

Karena itu, muatan Perda itu hendaknya segera ditinjau ulang. Seandainya memang potensial bermasalah yang bisa memicu kemudaratan, lebih baik dipertimbangkan pencabutan atau pembatalannya demi kemaslahatan masyarakat luas. Bila juga berkembang indikasi tindakan kriminal, kudu diusut tuntas sehingga tidak mengusik ketenteraman publik. Selebihnya, kita perlu membugarkan kesadaran kolektif untuk merawat kearifan Nusantara dengan cara yang mengademkan.

Ini petikan keterangan dalam akun Bupati Gowa, saya hanya sedikit menandai bagian-bagian yang terasa mengganjal dalam benak pribadi, lantaran terasa ambigu yang kemungkinan memantik protes. Selanjutnya terserah sampean.

...Gowa dulu adalah kerajaan terbesar kemudian bertransisi menjadi Pemerintah Tk II Gowa, makanya Andi Idjo Karaeng Lalolang yang saat itu sebagai Raja Gowa ke-36 menjadi Bupati pertama di Gowa. Karena pada zamanya lah, Kerajaan Gowa menyatu dengan NKRI. Saat pernyataan Kerajaan Gowa masuk dalam NKRI, Andi Idjo Karaeng Lalolang juga mendeklarasikan diri sebagai raja terakhir.

Artinya tidak ada lagi Raja di Gowa setelah Andi Idjo Krg Lalolang, karena sudah berganti nama menjadi Bupati. Olehnya itu siapapun Bupati di Gowa, maka dia sama dengan Raja Gowa, di zaman kerajaan. Itu juga yang mendasari Andi Idjo saat menyatakan bergabung dengan NKRI diangkat sebagai Bupati Gowa pertama.

Makanya Perda LAD mengatur struktur, bahwa Bupati sebagai KETUA LAD yang menjalankan fungsi Sombayya. Sekali lagi hanya menjalankan fungsi sebagai Sombayya.

Sombayya dulunya adalah pimpinan tertinggi di Kerajaan Gowa. Setelah bergabung dengan NKRI dan berstatus Daerah Tk II Gowa, bupati yang menjadi pimpinan tertinggi.

Yang masuk dalam LAD ini bukan pribadinya/bukan individunya tapi jabatannya, sehingga sapapun yg menjadi Bupati Gowa/Wakil Bupati/Sekda, dia punya tugas dan tanggung jawab menjaga seluruh asset peninggalan sejarah serta melestarikan adat dan budaya Kabupaten Gowa.” (Sahabat News).

Ilustrasi: Jokowi-TV

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun