Definisi
Kesulitan belajar membaca dapat disebut juga dengan istilah disleksia (dyslexia). Dyslexia berasal dari kata Yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan, “lexis” berarti kata-kata. Disleksia merupakan kesulitan belajar yang primer berkaitan dengan masalah bahasa tulisan seperti membaca, menulis, mengeja dan pada beberapa kasus kesulitan dengan angka, karena adanya kelainan neurologis yang kompleks – kelainan struktur dan fungsi otak (Abigail Marshall, 2004).
Bryan dan Bryan seperti yang dikutip oleh Mercer (1979: 200) mendefinisikan disleksia sebagai suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat, dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. Anak yang kesulitan belajar membaca umumnya juga kesulitan menulis karena membaca dan menulis merupakan komponen sistem komunikasi yang terintegrasi.
Disleksia disebut sebagai “The Hidden Disability” (ketidakmampuan yang tersembunyi), karena pada kasus disleksia yang ringan sering tidak dikenali, dianggap “anak lamban atau malas membaca” atau “anak ceroboh, kurang teliti dalam tulisannya, seperti ada penghilangan, penambahan atau penggantian huruf tertentu”.
Disleksia merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang terjadi sepanjang rentan hidup (developmental disorders across the life span). Di masa dewasa masalah membaca, pemahaman dan menulis ejaan tetap dialami (Bruck, 1987). Tidak jarang anak-anak yang mengalami disleksia terutama yang ringan dianggap sebagai anak yang bodoh, malas, kurang berusaha, ceroboh, sehingga timbul rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mengalami gangguan emosional. Padahal tidak jarang penyandang disleksia mempunyai intelegensi yang tinggi seperti Nelson Rockefeller, Albert Einstein, Churchill, yang disebut Gifted Dyslexia.
Prevalensi Disleksia
Di berbagai negara prevalensi disleksia pada anak-anak bervariasi antara 5-15%, beberapa penulis melaporkan prevalensi setinggi 20-30%. Di Inggris 4% mengalami disleksia berat. Penelitian yang dilakukan secara cermat menemukan jumlah yang setara dari gangguan ini baik pada anak laki-laki maupun perempuan (APA;Shaywitz dalam Nevid, 2005). Rasio laki-laki banding perempuan berkisar 3,5-4, 0:1, tetapi penelitian hasil Dr. Shaywitz (1996) menunjukkan rasio kedua seks hampir sama. Perbedaan prevalensi dan rasio pada hasil penelitian kemungkinan karena perbedaan dalam diagnosis disleksia atau dalam pemilihan kelompok subjek.
Sebagian besar anak kesulitan belajar memiliki kesulitan dalam membaca yakni kurang lebih 80% (Lyon & Moats, 1997; Lyon, 1995b; Kirk & Elkins dalam Lerner, 2000). Di Indonesia, dari 50 juta anak sekolah diperkirakan ada 5 juta orang anak yang mengalami disleksia. Dalam proses pendidikan formal, anak disleksia banyak ditemui di sekolah dasar terutama kelas 1, 2 dan 3 (Imandala, 2009). Prevalensi anak disleksia di Indonesia adalah 1% dari populasi anak Indonesia. (Rahman dan Wiyancoko, 2008). Disleksia menetap seumur hidup, tidak dapat “disembuhkan”, namun dengan pengenalan dan intervensi, kelainan ini dapat diperbaiki.
Karakteristik
Menurut Mercer (1983: 309) ada empat kategori karakteristik disleksia, yaitu :
(1) Kebiasaan membaca. Anak kesulitan belajar membaca sering memperlihatkan kebiasaan membaca yang tidak wajar. Mereka sering memperlihatkan adanya gerakan-gerakan seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga sering memperlihatkan perilaku menolak untuk membaca dengan cara menangis atau mencoba melawan guru. Pada saat membaca, mereka sering kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada baris yang terlompat sehingga tidak dibaca.
(2) Kekeliruan mengenal kata. Anak dengan disleksia sering mengalami kekeliruan dalam mengenal kata yang mencakup penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak.
(3) Kekeliruan pemahaman. Gejala kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengemukakan urutan cerita yang dibaca, dan tidak mampu memahami tema utama dari suatu cerita.
(4) Gejala-gejala serbaneka. Gejala serbaneka tampak seperti membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan dan nada tinggi, dan membaca dengan penekanan yang tidak tepat.
Penyebab dan Patogenesis
Pathogenesis disleksia terletak pada struktur dan fungsi otak, pada umumnya pada belahan otak (hemisfer kiri), sebagian pada belahanan otak kanan, korpus kalosum dan adanya gangguan dalam fungsi antara belahan otak (interhemisferik). Penyebab gangguan fungsi belahan otak kiri dikaitkan dengan gangguan perkembangan morfologis atau kerusakan otak karena oksigen pada saat atau segera lahir (iskemia atau asfiksia perinatal) (Geswin yang dikutip oleh Njiokiktjien, 1989). Serta beberapa peneliti mengaitkan dengan factor keturunan dan hormone seks pada laki-laki (Njiokkiktjien, 1989).
Klasifikasi Disleksia
- Disleksia dan Gangguan Visual. Gangguan fungsi otak bagian belakang dapat menimbulkan gangguan dalam persepsi visual (pengenalan visual tidak optimal, membuat kesalahan dalam membaca dan mengeja visual) dan deficit dalam memori visual. Adanya rotasi dalam bentuk huruf-huruf atau angka yang hampir mirip bentuknya, bayangan cermin (b-d, p-q, 5-2, 3-E) atau huruf dan angka terbalik seperti m-w, n-u, 6-9. Hal ini terlihat nyata pada tulisannya. Gangguan dalam urutan dapat berupa urutan huruf dalam kata sebagian atau seluruhnya seperti bapak-bakpa, ibu-ubi atau terbaliknya suku kata seperti mata-tama. Anak dengan gangguan memori ringan dapat mengulang huruf (gembira-gembbira) atau suku kata seperti baru-baruru, angina-angingin. Kelainan ini jarang, hanya didapat pada 5% kasus disleksia (Gobin, 1980 yang dikutip Njiokotjien, 1986).
- Disleksia dan Gangguan Bahasa. Beberapa penulis menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50-80%. 50% dari jenis ini mengalami keterlambatan berbicara pada masa balita atau prasekolah (Njikokiktjien, 1986). Legein dan Bouma (1987) menyebutkan kelainan ini didapatkan pada sekitar 4% dari semua anak laki-laki dan 1% pada anak perempuan. Gejala berupa kesulitan dalam diskriminasi atau persepsi auditoris (disleksia disfonemis) seperti p-t, b-g, t-d, t-k, kesulitan mengeja secara auditoris, kesulitan menyebut atau menemukan kata atau kalimat, urutan auditoris yang kacau (sekolah-sekolha). Hal ini berdampak pada membuat karangan.
- Disleksia dengan Diskoneksi Visual-Auditoris. Ada gangguan dalam koneksi visual-auditoris (grafem-fonem), sehingga anak membaca lambat. Dalam hal ini bahasa verbal dan persepsi visualnya baik. Apa yang dilihat tidak dapat dinyatakan dalam bunyi bahasa.
Bakker, et al., (1987) membagi disleksia dalam 2 tipologi, yaitu L-Type (linguistic) dan P-Type Dyslexia (perceptive). Pada L-type Dyslexia anak membaca relative cepat namun dengan membuat kesalahan seperti penghilangan, penambahan atau penggantian huruf. Pada P-type dyslexia anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti fragmentasi (membaca terputus-putus) dan mengulang-ulang (repetisi). Jarang terdapat hanya satu jenis disleksia yang murni, kebanyakan gabungan dari berbagai jenis disleksia, di mana terdapat gangguan dalam masalah bicara, bahasa, membaca dan bahasa tulisan.
Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak berkesulitan belajar: Teori, diagnosis, dan remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2006). Psikologi abnormal (9th ed.) (Noermalasari Fajar, Penerjemah). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sidiarto, L. D. (2007). Perkembangan otak dan kesulitan belajar pada anak. Jakarta: Universitas Indonesia
Lulu Assagaf. (2010). Disleksia (dyslexia). Bersumber dari https://luluasegaf.wordpress.com/2010/12/23/disleksia-dyslexia/.19 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H