Dengan menyajikan kehidupan di balik layar keviralan Bu Prani, Wregas berupaya mencapai apa yang pernah dikatakan seorang penulis skenario, William Goldman; "yang penting adalah apa yang penonton terima sebagai kebenaran," maka kisah di balik layar (di luar framing masyarakat maya Budi Pekerti) adalah sebuah kebenaran bagi penonton.
Melalui cara ini, Wregas membawa penonton dalam kursi narrative transportation; keadaan di mana penonton merasa terlibat dalam alur sebuah cerita. Dalam beberapa kondisi, fenomena ini bisa memengaruhi sikap dan perilaku seseorang di dunia nyata setelah selesai menonton film. Di titik akhir cerita, Wregas melepas segala atribut refleksinya. Setelah segala hal yang dialami oleh Bu Prani, kini tugas penonton untuk melakukan refleksi.
Dengan metode sosiodrama, Wregas mengajak untuk merefleksi tindakan kita terhadap orang lain, terutama dalam ruang media digital. Sebab, cyber bullying dan ragam jenis kejahatan serta perundungan siber lainnya -- tanpa upaya cross-check -- dapat berakibat fatal pada kehidupan seseorang, begitupun orang-orang terdekatnya, sebagaimana yang dialami Bu prani. Maka sebelum itu semua terjadi, sudikah kita; "berpikir sebelum bertindak?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H