Mohon tunggu...
Husen mulachela
Husen mulachela Mohon Tunggu... Penulis - Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Pernah jadi wartawan untuk beberapa media. Aktif menyibukkan diri dalam penulisan skenario. Beberapa tulisan saya bisa ditemui di Play Stop Rewatch, Mojok, Tagar, Katadata, dan Hops.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sosiodrama, Refleksi, dan Budi Pekerti: Korban Perundungan Daring dalam Pusaran Budaya Pengenyahan dan Ketidakberadaban Masyarakat Maya

30 Agustus 2024   18:20 Diperbarui: 30 Agustus 2024   18:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu adegan dalam Budi Pekerti (Sumber: IMDb)  

Ketika Bu Prani menjelma individu yang dienyahkan masyarakat, hanya tinggal menunggu waktu baginya sebelum rekam jejaknya digali dan disebarkan sedemikian masif agar pengenyahan tersebut terkesan memiliki landasan.

Hal itu tampak dalam tahap bigger problem tatkala salah satu mantan murid Bu Prani, Gora (Omara Esteghlal), menyatakan dukungan kepada Bu Prani. Ia bercerita, refleksi yang pernah diberikan Bu Prani kepadanya telah banyak mengubah hidupnya ke arah yang lebih baik. Adapun refleksi itu ialah menggali kuburan.

Sebab cancel culture, point of interest masyarakat tak lagi pada pernyataan Gora yang mendukung Bu Prani. Masyarakat kini ada pada posisi menggali rekam jejak Bu Prani dan mengaitkannya dalam polemik terkini. Sehingga, setitik sokongan atas asumsi tersebut dipelintir sedemikian rupa oleh masyarakat, juga media massa (mewawancarai psikolog), untuk melegitimasi sisi buruk Bu Prani.

Dalam dunia Budi Pekerti maupun dalam kenyataan, media massa memiliki peran penting terhadap tingkat/daya literasi digital masyarakat. Dalam arus informasi yang tak terkendali, media massa hadir sebagai rujukan objektif dan independen atas suatu isu yang berkembang. Namun, apa jadinya jika pers ikut serta dalam arus algoritma internet dan semata berperan sebagai juru bingkai yang hanya menyuapi apa yang ingin dikonsumsi masyarakat.

Alih-alih meluruskan, media massa malah terjerumus dalam kegegapgempitaan viralitas yang terjadi dan memperkeruh suasana. Media sekadar hadir untuk menguatkan asumsi masyarakat melalui angle yang eksploitatif, menyuguhkan kemiskinan dan kesengsaraan, yang ampuh menggaet empati masyarakat. Media, dalam hal ini, juga telah terjangkit penyakit serupa dengan masyarakat Budi Pekerti dengan secara impulsif mengikuti dan berpihak pada opini publik. Inilah posisi media massa dalam Budi Pekerti yang diwakili lewat GaungTinta.id.

Meskipun tak menyalahkan Bu Prani secara eksplisit, Gaung Tinta, gagal (atau enggan) menyajikan pemberitaan secara cover both side, sehingga posisi Bu Prani dalam polemik keributan di pasar itu pun semakin terpojok karena minimnya ruang untuk membela diri.

Konten yang disajikan Gaung Tinta bahkan gagal memberikan konteks mengapa suatu isu (Bu Prani marah-marah) harus menjadi perdebatan di tengah arus utama publik -- mengingat film ini dilatarbelakangi situasi pandemi Covid-19.

Wregas menyajikan hiruk pikuk jurnalisme di era di digital di mana kode etik jurnalistik tak selalu menjadi landasan. Wartawan hanya memanfaatkan momen demi mengejar angka kunjungan website. Dengan berkiblat pada hal tersebut, media massa dalam Budi Pekerti telah melanggar sejumlah pasal dalam kode etik jurnalistik, misalnya pasal 1 di mana wartawan dituntut untuk menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Atau, dalam pasal 3 di mana wartawan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pada babak narasi ini, sebagian besar masyarakat memojokkan dan mencemooh Bu Prani sampai terkesan Bu Prani mengalami cancel culture. Keterjerumusan Bu Prani dalam budaya pengenyahan menyulut Wregas dalam melontarkan pernyataan melalui dialog karakternya, Muklas (Angga Yunanda); "Salah atau benar itu perkara siapa yang lebih banyak bicara,".

Posisi Penonton dalam Sosiodrama Budi Pekerti

Menghukum pelaku kejahatan dan/ pelanggaran hukum tak semata menjadi tanggung jawab pemegang kekuasaan yudisial. Masyarakat -- apalagi di era maraknya media sosial -- kini turut mengemban tugas tersebut secara de facto dengan melancarkan saksi sosial.

Namun, apabila pihak yang terkena sanksi sosial -- seperti Bu Prani yang mengalami cancel culture -- ini nyatanya tidak bersalah, maka sanksi sosial tentu menjadi keliru. Dalam ranah hukum, tindakan ini dapat didalilkan sebagai penyebaran hoaks. Apabila pemboikotan telah terjadi, tetapi rumor yang melatarbelakangi pemboikotan tidaklah benar, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah penistaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun