Konflik antara Bu Tejo yang Jawa dan Ibu Vanessa yang Tionghoa terpantik karena adanya prasangka satu sama lain. Konflik ini diperlihatkan secara eksplisit ketika Bu Tejo untuk pertama kalinya bertemu dengan Ibu Vanessa.
Karena suatu sebab, seserahan lamaran yang sudah disediakan oleh Tedy diganti dengan lemper oleh Bu Tejo. Inisiasi Bu Tejo dinilai sebagai suatu penghinaan oleh Ibu Vanessa.
"Tolong dijaga dan dihargai budaya kami... Jakarta itu multikultur, Bu, banyak budayanya, jadi tolong dipelajari budaya kami," kata Ibu Vanessa.
Selanjutnya, Ibu Vanessa juga menunjukan eksklusivitas dengan menyebut Bu Tejo sekeluarga adalah 'orang desa'. Sebutan 'orang desa' di sini dikonotasikan negatif sebagai kelompok masyarakat yang tertinggal.
Cek-cok tersebut, bagi Bu Tejo, telah membenarkan prasangkanya terhadap etnis Tionghoa. Bu Tejo lantas berceloteh: "Ted, itu kenapa ya ibu itu gak mau kamu nikah sama beda budaya, ribet tahu gak. Tradisinya ribet, orangnya ribet, sombong lagi,".
Konflik penutup semacam ini tentu sudah disiapkan sedari skenario sebagai rock bottom sebelum menuju tahap final battle dalam sebuah narasi tiga babak. Sebab pada akhirnya, melalui teman-teman arisannya, Bu Tejo belajar kalau kesalahan memang ada pada dirinya dan keluarga. Ia juga belajar bahwa konflik tersebut terjadi lantaran keduanya memiliki harga diri akan budaya masing-masing.
Di samping prasangkanya terhadap etnis Tionghoa yang terkalahkan, Bu Tejo juga sadar kalau teman-teman arisannya tidak mempermasalahkan (menggeneralisasi) etnis selama calon menantu Bu Tejo adalah orang baik dan dari keluarga baik-baik pula.
Serupa dengan Bu Tejo, Ibu Vanessa, melalui Kokoh Vanessa, juga sadar kalau dirinya tak menghargai upaya Bu Tejo sekeluarga yang sudah datang jauh-jauh untuk menyambangi keluarga Vanessa dalam rangka lamaran.
Saya memakai kata 'sadar' bukan tanpa sebab. Pasalnya, efek 'jentikan jari' masih jadi senjata utama dalam mengakhiri tahap klimaks -- merujuk pada resolusi secepat kilat, konflik besar dalam film seakan lenyap seketika, ibarat seseorang menjentikan jari di hadapan karakter sehingga karakter tercerahkan. Padahal penyelesaian konflik yang lebih dinamis atau bagaimana stereotipe itu lantas dilawan adalah sesuatu yang diharapkan dan dibutuhkan dalam keterjebakan Bu Tejo dalam 'film stereotipikal'.
Melalui bahasa dan budaya, Bu Tejo Sowan Jakarta sedang menyajikan suatu kritik sosial yang dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap persoalan atau kenyataan sosial yang ada di masyarakat. Kenyataan sosial yang dikritik adalah kenyataan sosial yang dianggap menyimpang, dalam hal ini stereotipe etnis, dalam masyarakat multikultural.
Bu Tejo Sowan Jakarta menyajikan realitas sinematik atau metafora hidup yang dilakoni oleh Bu Tejo, teman-temannya, dan keluarga Vanessa seputar stereotipe etnis. Yang mana, melalui kajian ini, stereotipe tersebut bisa timbul lantaran jarak (komunikasi dan interaksi) serta insting individu untuk mempertahankan keanggotan dalam suatu komunitas atau kelompok masyarakat.