Sutradara film Tilik, Wahyu Agung Prasetyo, pernah menekankan intensinya dalam suatu wawancara. Ia mendaku film garapannya adalah ironi yang dihumorkan. Ironi dalam filmnya, kata Wahyu, ada pada sekumpulan perempuan berkerudung yang asyik bergibah. Memang ada muatan agama dalam pernyataan Wahyu, tapi untuk kali ini, mari berfokus pada gibah atau gosip. Pasalnya, dalam Bu Tejo Sowan Jakarta, Andibacthiar juga mengikutsertakan 'gosip' dalam kopor intellectual property (IP) Bu Tejo.
Dari kedua film ini, maka pantaslah untuk menyimpulkan bahwa Bu Tejo dan kawan-kawannya memang didesain dan dimaksudkan untuk mewakili kehidupan ibu-ibu desa berikut aktivitas gosipnya yang sangat berpengaruh. Seberapa besar pengaruh tersebut?
Gosip mendasari cerita (juga karakter) dalam Bu Tejo Sowan Jakarta. Prasangka Bu Tejo terhadap etnis Tionghoa telah terbentuk dan divalidasi oleh teman-teman arisannya. Semua bermula saat salah satu teman arisan Bu Tejo, Saodah, menebak kalau ketan yang Bu Tejo suguhkan dibeli dari Cicik Martha.
"Aku pernah belanja di Cicik Martha itu. Uangnya kelebihan 50 rupiah, minta kembaliannya, ya ampun!" ucap Saodah.
Dalam dialog hiperbolis ini, Saodah sedang menggiring percakapan dan menantikan respons setuju dari karakter lainnya atas pengalaman menyebalkan yang ia alami. Respons itu ia peroleh dan segera stereotipe Tionghoa sebagai etnis yang pelit pun berkembang lewat dialog.
"Iya Cina itu perhitungan banget."
"Memang pelit banget Cicik Martha itu."
"Aku pernah mau utang di Cicik Martha tapi gak boleh."
Pertanyaannya, kenapa sebagian besar karakter sepakat kalau Cina adalah etnis yang perhitungan? Kenapa tidak ada yang menyanggah? Apa iya semua karakter punya pengalaman buruk dengan Cina (atau Cicik Martha)? Atau mungkin film ini memang sengaja membingkai negatif etnis tertentu dengan alibi realitas?
Jawabannya ada pada 'gosip'. Gosip, beserta pelakunya, telah lama memunculkan stigma di mata masyarakat. Menurut Wert dan Salovey (2004), gosip adalah percakapan informal evaluatif mengenai sesuatu yang negatif tentang permasalahan suatu kelompok atau individu yang absen dalam suatu lingkungan sosial.
Namun, kita perlu melihat segala sesuatu dari dua sisi. Gosip juga memiliki dampak positif. Antropolog sekaligus psikolog Oxford University, Robin Dunbar, dalam bukunya "Grooming, Gossip, and the Evolution of Language (1996)", menyatakan kalau gosip berperan dalam tatanan dan kohesi sosial untuk mempererat relasi.