Bu Tejo kembali ke layar lebar lewat film berjudul Bu Tejo Sowan Jakarta (2024). Dalam poster filmnya, Bu Tejo eksis bersama teman-temannya dalam bingkai kamera -- tangan Bu Tejo seolah memegang dan mengarahkan kamera itu sendiri. Di samping menegaskan kalau ia dan kawan-kawannya tengah berlakon dalam realitas kedua (realitas sinema), mereka (Bu Tejo dan teman-temannya) dalam poster itu juga dimediasi oleh kamera bersamaan dengan beban berat berjuluk representasi.
Karya 'representasi' tak jarang bermanifestasi stereotipikal. Sehubungan dengan masalah itu, Bu Tejo Sowan Jakarta memikul beban ganda, bukan cuma stereotipe perempuan (yang juga tampak pada Tilik (2018)), tetapi juga etnis Tionghoa. Memang, sebagai sebuah realisme, tak mengejutkan bagi film bergumul dengan prasangka stereotipikal. Maka terjebaklah kembali Bu Tejo dalam kubangan permasalahan itu.
The Opening Image: Terbentuknya Prasangka
"The very first impression of what a movie is -- its tone, its mood, the type and scope of the film -- are all found in the opening image... The opening and final images should be opposites, a plus and a minus, showing change so dramatic it documents the emotional upheaval that the movie represents," Blake Snyder -- Save The Cat.
Apabila disajikan sebuah bingkai visual yang mana di dalam bingkai itu memperlihatkan kegiatan arisan sekumpulan perempuan paruh baya tengah asyik berbicang menggunakan bahasa daerah, kira-kira apa kesan pertama kita (sebagai penonton)? Â
Walaupun tak mengerti bahasanya, sebagian penonton mungkin akan menafsir kalau yang dibicarakan oleh ibu-ibu itu berpusat pada 'orang' dan 'kejadian' -- bukan 'gagasan'. Singkatnya mereka tengah bergosip. Itulah opening image dalam film teranyar arahan Andibachtiar Yusuf, Bu Tejo Sowan Jakarta.
Bagi penonton yang sudah mafhum dengan karakter Bu Tejo (Siti Fauziah) lewat kemunculannya pada film pendek produksi Ravacana Films bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY, Tilik, opening image semacam ini hanya sebatas penyegaran. Sedangkan, bagi penonton yang belum pernah bersua Bu Tejo dan kawan-kawannya, scene pembuka dalam film ini sangatlah efisien dalam memberi pemahaman kepada penonton; seperti apa karakter Bu Tejo, teman-teman arisannya, serta dunia cerita. Lebih jauh, juga sebagai peringatan akan isu yang diangkat.
Ada problematika yang sangat kental yang terhantar lewat karakter Bu Tejo dkk. Hal itu bisa ditangkap sekejap mata, baik dalam Tilik maupun Bu Tejo Sowan Jakarta. Di Tilik, viralnya Bu Tejo memantik perdebatan apakah film ini benar-benar menggambarkan realitas dari kehidupan ibu-ibu desa atau sekadar stereotipikal yang bersembunyi di balik selimut komedi, membawa penonton hanyut dan lupa akan penyakit inti.
Bu Tejo yang stereotipe itu juga terbaca dalam Bu Tejo Sowan Jakarta melalui unsur narasi (terutama dialog). Bukan cuma terhadap perempuan, sasaran stereotipe kali ini juga etnis Tionghoa. Dan, semua itu ada sedari opening image atau gambar pembuka dalam film.
Opening image Bu Tejo Sowan Jakarta sudah bisa memancing diskusi panjang apakah film ini merupakan upaya dalam menjaga integritas sosial di tengah masyarakat yang multikultur, atau sebaliknya, melestarikan disintegritas? Namun, untuk menjawab pertanyaan itu, tidak cukup hanya menitikberatkan pada opening image.
Moralitas Gosip: Kontrol SosialÂ
Dalam Tilik, Bu Tejo berada di truk bak terbuka bersama sekumpulan ibu-ibu lainnya (semuanya berhijab) membicarakan soal Dian yang diduga memiliki pekerjaan yang 'tidak baik'. Sepanjang 30 menit, gosip itu berkembang dan penonton dipaksa menebak-nebak apakah gosip itu terbukti atau hanya fitnah belaka -- sambil sesekali menertawai tingkah konyol dan celetukan para karakter.