"Selama ada Negara maka ada dominasi satu kaum atas kaum lainnya, dan itu berarti ada perbudakan". Kutipan dari Mikhail Bakunin menunjukkan bahwa adanya hubungan antara keberadaan negara, dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain, dan perbudakan. Hal ini mencerminkan perspektif anarkisnya, yang menyatakan bahwa negara secara inheren mengarah pada struktur kekuasaan hierarkis dan penindasan. Mereka kelas berkuasa yang diuntungkan dari tatanan yang berdiri di atas penderitaan kelas yang dikuasai, menjalankan kebijakan-kebijakan yang melindungi oligarki ketimbang kepentingan rakyat.
Ini tentunya melahirkan narasi kritik atas dominasi yang terjadi atas peristiwa yang dijabarkan sebelumnya. Keadaan meluasnya relasi dominasi pun secara tidak langsung membentuk sistem dominasi yang dimana sebagian kelompok masyarakat sepakat bahwa negara dan demokrasi perwakilan adalah alat dominasi yang menjadi ladang keputusan dibuat di atas sehingga fungsi rakyat hanya untuk mematuhi dan pasif.Â
Ciri dari sebuah negara demokrasi yang terdapat pemilihan umum, karena kedaulatan ada di tangan rakyat "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Disaat terpilih presiden dan parlemen baru, kerap kali Lame Duck hadir menjadi sebuah problema pasca pemilihan umum. Kajian mengenai Lame Duck belum banyak dilakukan di Indonesia, sekalipun ada fenomena ini mungkin tidak dianggap serius. Akibat dari belum banyaknya kesadaran tentang masalah Lame Duck session ini mempengaruhi pengaturan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Istilah nya terdengar asing.Â
Lame Duck (bebek lumpuh) merupakan istilah politis yang dimaknai sebagai kondisi pasca pemilihan umum yang artinya masa transisi dari presiden atau anggota parlemen yang lama belum berhenti bertugas atau masih aktif menjabat dan presiden atau anggota parlemen yang baru terpilih namun belum dilantik. Secara An Sich, Lame Duck merujuk pada bebek lumpuh yang sekarat tidak mampu merawat dirinya sendiri dengan menjalani sisa-sisa harinya.Â
Awal mula nya di Amerika Serikat, ini menjadi contoh transisi pertama yang gagal, dimana waktu itu pada tanggal 3 Maret 1801 John Adams menunjuk Hakim Agung yaitu John Marshall, padahal keesokan harinya pada tanggal 4 Maret 1801 merupakan pergantian presiden dari John Adams ke Thomas Jefferson yang kemudian pengangkatan Hakim Agung John Marshall tersebut dicaci maki.Â
Tindakan ini mengarah pada lahirnya kepuitisan Marbury vs Madison yang kemudian menjadi role model pengujian konstitusi di dunia (judicial review). Istilah Lame Duck dicatat di Amerika Serikat pada 14 Januari 1863 yang tercantum pada dokumen resmi Kongres Amerika sebagai peristiwa politik yang buruk.Â
Mengapa demikian? Kerap kali momen ini menjadi ladang sirkus Abuse Of Power yang dilakukan oleh presiden atau anggota parlemen yang lama. Pemimpin yang sudah tidak mandat lagi untuk memimpin negara namun masih menjabat, dapat melakukan kebijakan yang kurang transparan dan tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.Â
Selain itu kebijakan yang diambil oleh pemimpin pada Lame Duck Session sering kali dianggap tidak efektif dan tidak bisa direspon dengan cepat oleh pemerintahan yang baru. Tetapi, di sisi lain terdapat argumen yang menyatakan periode ini bisa dimanfaatkan oleh pemimpin yang menjabat untuk melakukan reformasi dan memperbaiki kebijakan yang kurang efektif. Pemimpin pada Lame Duck Session bisa memanfaatkan akhir periode nya dengan menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan dan membuat rencana yang lebih matang untuk kedepannya.Â
Periode Lame Duck tetap saja masih menuai banyak kritik karena dinilai sebagai hal yang tidak demokratis dan merugikan rakyat. Oleh karena itu beberapa pihak telah mengusulkan untuk mengubah Undang-Undang pemilihan presiden dan wakil presiden agar periode transisi menjadi lebih singkat dan efektif.Â
Apabila ini terus dibiarkan, peristiwa ini bisa memicu dampak negatif seperti ketidakpastian hukum dan pengembalian kebijakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, dan kurangnya legitimasi pejabat lama dalam membuat sebuah keputusan terutama keputusan yang strategis serta berpotensi mereduksi nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan negara akibat rendahnya partisipasi publik.Â
Dengan menggunakan berbagai kekuatan yang tersedia, baik Presiden sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif yang sedang menjabat dapat menggunakan masa transisi untuk mencoba mengamankan warisannya atau mempengaruhi perubahan kebijakan.Â
Seorang Presiden terpilih, setelah menjabat, dan bersemangat untuk menetapkan agenda kebijakannya dan mengisi pemerintahan dengan orang-orang yang ditunjuk, akan terlibat dalam sejumlah keputusan dan kegiatan, beberapa di antaranya mungkin mengubah atau membatalkan tindakan Pemerintahan sebelumnya.
Pada tahun 2014 silam, pemilihan umum legislatif dilaksanakan penghitungan suara pada 9 April 2014, ditetapkan perolehan suara dan calon terpilih pada 9 Mei 2014 dan dilantik pada tanggal 1 Oktober 2014. Di saat Lame Duck tersebut DPR masih menyelenggarakan sidang dan memutuskan belasan Undang-Undang, salah satu nya yang menggemparkan berita nasional adalah Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang cara pemilihan pimpinan DPR dan MPR yang terkesan berat sebelah karena ada pihak yang dirugikan dari perubahan tersebut dan hanya menguntungkan pihak-pihak yang menyetujui pengesahan RUU tersebut.Â
Selain itu, yang tidak kalah mengundang demo dan aksi adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang mengubah pemilihan kepala daerah melalui DPRD dan tidak lagi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Anehnya, undang-undang tersebut kemudian diubah oleh Presiden SBY dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tepat keesokan harinya selepas disahkan.Â
Dengan demikian, kedua undang-undang diatas dapat disimpulkan sebagai salah satu bukti kecenderungan penyimpangan atau "kartelisasi/pengaturan" pembahasan undang-undang di masa Lame Duck Session di Indonesia. Peristiwa ini kerap terjadi lagi pada tahun 2019, penetapan hasil rekapitulasi suara yang diumumkan pada tanggal 21 Mei 2019 sampai dengan dilaksanakannya pelantikan anggota DPR terpilih, yakni pada tanggal 1 Oktober 2019, memiliki jeda waktu sekitar 4 bulan dengan jumlah masa sidang yang tersisa sekitar 4 kali.Â
Menjelang akhir masa sidang terakhir, frekuensi pembahasan Rancangan Undang-undang meningkat tidak hanya RUU yang memerlukan pembicaraan tingkat II, tetapi juga peningkatan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam paripurna guna diputus sebagai Rancangan Uindang-Undang inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat.Â
Selain itu , dalam periode masa sidang 2019-2020 (hingga tanggal 30 September 2019), terdapat 7 Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam Prolegnas. Hal ini tentu sangat tinggi jika dibandingkan dengan masa sidang 2018-2019 sebelumnya yang hanya terdapat 4 Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam Prolegnas.Â
"Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely" merupakan pernyataan Lord Acton yang mengimplikasikan bahwa suatu jabatan mengandung kekuasaan didalamnya bagi pengemban jabatan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan terhadap kekuasaan seorang pejabat agar segala tindakan dan perbuatan pejabat tersebut dapat dipertanggung-jawabkan dan juga pada masa transisi ini harus dipastikan berjalan secara transparan dan akuntabel, baik dari pra-pemilu dan berlanjut pada saat pelaksanaan.Â
Transisi presidensial memfasilitasi pembentukan administrasi baru dan mempersiapkannya untuk memerintah. Selain itu untuk merencanakan transisi, presiden membantu memastikan keamanan dan ketertiban negara. Perpindahan kekuasaan yang lancar dan teratur pada umumnya merupakan ciri transisi pemerintahan republik, dan merupakan bukti legitimasi dan daya tahan proses pemilu dan demokrasi.Â
Oleh karena itu, perlu ditemukan titik keseimbangan antara aspek pelemahan pejabat petahana dengan aspek penyalahgunaan kekuasaan. Dengan adanya polarisasi ini pada masa lame-duck, maka perlu dilakukan pembentukan regulasi terhadap masa transisi pemerintahan secara singkat di Indonesia untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan yang dapat terjadi pada sistem pemerintahan yang sedang berjalan agar tidak terjadi The ends justify the means (menghalalkan segala cara).Â
Seperti contoh yang terjadi di Amerika Serikat silam pada tahun 1935, menjelang kongres amerika George Norris , anggota kongres dari partai Republikan begitu getol mengajukan usul perubahan atau amandemen Konstitusi Amerika Serikat agar mengakomodasi pengaturan dan menyelesaikan masalah lame-duck session.Â
Usaha dan jerih payah Norris terbayar dengan sempurna dengan disetujuinya Amandemen ke-20 Konstitusi Amerika Serikat pada 1935 yang secara khusus dilakukan untuk menyelesaikan masalah lame-duck session, yakni dengan cara mengurangi jarak waktu atau jeda antara pelaksanaan pemilu di minggu pertama dengan waktu pelantikan. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu Amerika Serikat dilaksanakan pada bulan November, tetapi pelantikan anggota kongres dan presiden terpilih baru akan diajukan pada awal Maret.Â
Oleh karena itu, terdapat jarak yang sangat lama dan membuka peluang untuk parlemen dan presiden meluluskan kebijakan di masa lame-duck. Setelah perubahan, jarak tersebut diperpendek sehingga presiden dilantik pada 3 Januari. Kemudian, kongres Amerika Serikat diharuskan memulai sidang pada tanggal 3 Januari pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H