Oleh: Â Ahmad Syaifullah
Gig economy, yang merujuk pada hubungan kerja kontraktual antara pekerja dan perusahaan, serta meningkatnya jumlah pekerja lepas, telah memicu banyak perbincangan akademis. Istilah "gig" awalnya digunakan dalam dunia musik untuk menggambarkan pertunjukan singkat, namun kini merujuk pada berbagai jenis pekerjaan lainnya. Pekerja gig kini tersebar di berbagai sektor, seperti kedai kopi, ruang kuliah, peternakan, pabrik, dan pekerjaan kebersihan. Mereka bekerja dengan kontrak jangka pendek sebagai "kontraktor independen" atau "konsultan" dengan waktu dan tugas yang terbatas, tanpa hubungan jangka panjang dengan pemberi kerja (Graham et al., 2017).Konsep gig economy berakar dalam sejarah internet dan bisnis internasional. Konsep offshore outsourcing, yang muncul pada tahun 1980-an, menjadikan pekerja untuk berpartisipasi dalam ekonomi global lewat internet dan alih daya. Praktik ini pertama kali berkembang di India, dengan faktor-faktor seperti sejarah kolonial, kebijakan pemerintah, tenaga kerja terampil, dan inovasi perusahaan. Platform-platform gig yang berbasis online memungkinkan usaha kecil hingga menengah memanfaatkan tenaga kerja dari lokasi-lokasi baru dan sebelumnya kurang dimanfaatkan, memberikan cara baru dalam menyelaraskan kontraktor dengan klien (Graham et al., 2017: 3-4). Seorang pekerja gig di Indonesia misalnya yang bekerja sebagai pengemudi ojek online merasakan dinamika kehidupan yang penuh ketidakpastian. Setiap hari, ia mengandalkan aplikasi untuk mencari penumpang dan memperoleh penghasilan yang bervariasi tergantung pada jumlah permintaan layanan dan kondisi cuaca. Meskipun fleksibilitas waktu menjadi salah satu keuntungan, ia sering kali merasa cemas karena pendapatannya tidak tetap. Tanpa jaminan kesehatan atau tunjangan lainnya, pekerja gig ini harus mengatur pengeluaran dan menanggung biaya perawatan kesehatan secara mandiri. Sebagai pekerja gig, ia juga terikat dengan aturan yang ditetapkan oleh platform aplikasi, yang terkadang mengubah kebijakan tanpa pemberitahuan, semakin menambah rasa ketidakpastian dalam pekerjaannya. Meskipun demikian, ia tetap melanjutkan pekerjaan ini karena kurangnya pilihan pekerjaan tetap yang dapat memberikan kestabilan finansial.Â
Para pendukung gig economy berargumen bahwa model ini memberikan pekerja kebebasan untuk memilih waktu dan tempat kerja, serta memberi kesempatan untuk meningkatkan keterampilan atau mengeksplorasi minat mereka (Greenwald, 2012; Greenwald & Katz, 2012). Pekerja juga dapat menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus, seperti menjadi pengacara paruh waktu dan fotografer amatir (Horowitz, 2011). Pekerja gig sering kali digambarkan bukan berdasarkan jenis pekerjaan atau keterampilan yang dimiliki, tetapi berdasarkan hubungan sosial atau bentuk kontrak yang ada. Dalam pekerjaan jangka panjang, posisi dan penghasilan pekerja bergantung pada masa kerja mereka. Sementara itu, pekerjaan gig tidak mempertimbangkan akumulasi masa kerja sebelumnya, dan pekerja dipekerjakan tanpa adanya janji mengenai promosi atau manfaat pensiun. Hal ini memberi fleksibilitas bagi perusahaan dalam menyesuaikan pekerjaan dan upah sesuai dengan kebutuhan ekonomi (Friedman, 2014). Akibatnya, upah pekerja gig bisa sangat bervariasi, dari yang rendah untuk pekerjaan seperti tukang ojek online hingga yang tinggi untuk pekerjaan profesional seperti pengacara atau konsultan.
Namun, keuntungan ini datang dengan konsekuensi yang sering kali memberatkan pekerja. Graham et al. (2017) menunjukkan bahwa pekerja gig menghadapi tantangan seperti kelebihan pasokan tenaga kerja, ketidakamanan pekerjaan, diskriminasi, serta isolasi sosial. Mereka juga rentan terhadap masalah terkait tanggung jawab pemberi kerja, kebijakan perpajakan, dan masalah yang berkaitan dengan perantara.
Gig economy berfungsi sebagai bagian dari pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel, di mana hubungan antara pemodal dan pekerja ditentukan oleh dinamika pasar. Dalam pasar ini, pekerja bebas dipandang sebagai respons terhadap fluktuasi upah, dan perusahaan dapat menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi pasar yang berubah (Tjandraningsih & Nugroho, 2009). Fleksibilitas ini memungkinkan penyesuaian dengan kondisi ekonomi yang terus berubah.
Meskipun teknologi digital memfasilitasi perkembangan gig economy, ini bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru. Dalam banyak industri, pekerjaan berbasis permintaan dan kontrak lepas sudah lama ada sebagai strategi yang memungkinkan pemberi kerja membayar hanya untuk pekerjaan yang dibutuhkan (Grantham, 2002). Sementara itu, pekerja lepas, musiman, dan kontrak sudah ada sejak kapitalisme muncul dan berkembang (Deakin, 2000; Wood, 2002). Gig economy menggunakan struktur kontraktor untuk efisiensi dan alasan hukum, memungkinkan perusahaan menghindari kewajiban seperti pembayaran tunjangan dan risiko fluktuasi permintaan (Stanford, 2017).
Kehadiran surplus tenaga kerja, yakni jumlah pekerja yang berlebihan dalam pasar, adalah salah satu faktor utama yang mendorong gig economy (Neilson & Stubbs, 2011). Surplus ini muncul sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme yang memerlukan cadangan pekerja yang dapat dipanggil sesuai kebutuhan. Surplus tenaga kerja ini juga mencerminkan ketegangan dalam penentuan upah, yang dipengaruhi oleh lembaga pengatur seperti hukum upah minimum dan serikat pekerja (Dore, 2003; Campbell & Price, 2016).
Sementara itu, kemunculan platform digital mencerminkan strategi organisasi kerja yang lebih besar, di mana teknologi hanya memfasilitasi penerapan kontrol terhadap pekerja. Teknologi memungkinkan pemberi kerja untuk memaksimalkan produktivitas pekerja sambil mengurangi biaya dan risiko mereka (Burawoy, 1979; Stanford, 2017).
Tantangan gig economy di Indonesia mencakup beberapa aspek yang perlu diperhatikan baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun pekerja. Beberapa tantangan utama gig economy di Indonesia antara lain:
1. Ketidakpastian Perlindungan Hukum dan SosialÂ
Pekerja gig di Indonesia sering kali tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas, seperti jaminan sosial, hak atas upah minimum, atau jaminan pensiun. Sebagian besar pekerja gig dianggap sebagai pekerja independen atau kontraktor, yang berarti mereka tidak mendapatkan perlindungan seperti pekerja tetap. Hal ini meningkatkan kerentanannya terhadap ketidakpastian pendapatan dan ketidakamanan pekerjaan.
2. Kesenjangan UpahÂ
Salah satu tantangan terbesar bagi pekerja gig di Indonesia adalah ketimpangan penghasilan. Pekerja gig seperti ojek online atau kurir memiliki pendapatan yang tidak tetap dan bergantung pada faktor eksternal seperti permintaan, kondisi cuaca, atau keberuntungan. Sementara pekerja gig di sektor profesional seperti teknologi atau konsultasi dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi, hal ini menciptakan jurang ketimpangan dalam distribusi penghasilan.
3. Kurangnya Akses terhadap Jaminan SosialÂ
Di Indonesia, pekerja gig umumnya tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial seperti pekerja tetap. Sebagian besar pekerja ini tidak mendapatkan fasilitas kesehatan, asuransi, atau tunjangan lainnya. Kondisi ini menambah beban pekerja yang mengandalkan penghasilan tidak tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perawatan kesehatan mereka.
4. Ketergantungan pada Platform DigitalÂ
Pekerja gig sangat bergantung pada platform digital untuk mencari pekerjaan. Hal ini menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap platform tersebut, yang dapat mengatur aturan mainnya sesuai keinginan. Di Indonesia, banyak platform gig yang masih belum ada regulasi yang jelas dari pemerintah mengenai hak-hak pekerja dan hubungan kontraktual dengan perusahaan.
5. Tantangan Regulasi dan Kebijakan PemerintahÂ
Pemerintah Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam merancang kebijakan yang dapat melindungi pekerja gig dengan baik. Regulasi yang ada saat ini belum mampu mengakomodasi kebutuhan pekerja gig yang beragam, baik dari sisi perlindungan sosial maupun ketentuan hukum yang jelas. Kebijakan yang tepat harus dapat menyeimbangkan antara kebebasan berusaha dengan perlindungan yang memadai bagi pekerja.
6. Ketidakpastian Kondisi EkonomiÂ
Pekerja gig sering kali mengalami fluktuasi pendapatan yang besar, tergantung pada kondisi ekonomi. Dalam situasi resesi atau krisis ekonomi, permintaan untuk pekerjaan gig bisa menurun drastis, yang berdampak pada pendapatan mereka. Tanpa jaminan pekerjaan tetap, pekerja gig cenderung lebih rentan terhadap ketidakpastian ekonomi.
7. Keterbatasan Keterampilan dan Pendidikan
Banyak pekerja gig di Indonesia yang tidak memiliki keterampilan khusus atau pendidikan yang tinggi, sehingga mereka terjebak dalam pekerjaan dengan upah rendah dan tidak stabil. Pekerjaan seperti driver ojek online atau kurir mungkin memerlukan keterampilan rendah, sementara pekerjaan di sektor gig lainnya membutuhkan pelatihan khusus, seperti dalam bidang IT atau kreatif. Akses pendidikan dan pelatihan yang lebih baik bisa meningkatkan potensi pendapatan dan kestabilan bagi pekerja gig.
8. Isu Diskriminasi dan Isolasi SosialÂ
Pekerja gig sering kali merasa terisolasi secara sosial, baik dalam pekerjaan mereka maupun dalam hubungan dengan perusahaan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan rekan kerja dan tidak memperoleh rasa kebersamaan yang sering ditemukan di pekerjaan tetap. Diskriminasi juga dapat terjadi dalam pengaturan ini, karena banyak pekerja gig tidak diakui sebagai bagian dari angkatan kerja formal.
Sebagaimana slogan "Do Together What You Can't Do Alone," solusi untuk tantangan gig economy harus diupayakan bersama. Gig economy menantang kita untuk mempertimbangkan kebijakan sosial yang lebih baik untuk pekerja, seperti memperluas perlindungan sosial dan jaminan pendapatan untuk meningkatkan daya tawar pekerja. Langkah ini sangat penting untuk menciptakan keseimbangan antara otonomi individu dan keamanan sosial melalui dukungan baru, baik dari negara atau bantuan timbal balik.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI