Mohon tunggu...
M Aan Mansyur
M Aan Mansyur Mohon Tunggu... -

Penyuka tomat. Sehari-hari bekerja sebagai relawan di Komunitas Ininnawa, di Makassar. Tulisan-tulisannya yang lain bisa dibaca di blog pribadinya: www.hurufkecil.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Efek Rumah Kaca, Badiou, dan Bahasa Cinta

14 Februari 2014   09:31 Diperbarui: 24 Januari 2017   10:55 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada November 2012, pemikir budaya dan co-founder The School of Life di London, Roman Krznaric, menerbitkan buku berjudul The Wonderbox: Curious Histories of How to Live. Setahun kemudian, buku tersebut terbit untuk pembaca Amerika dengan judul How Should We Live?: Great Ideas from the Past for Everyday Life. Dalam buku ini, Krznaric melihat bahwa abad ke-21 seharusnya menjadi abad outrospeksi yang elemen utamanya adalah empatibandingkan dengan istilah introspeksi, juga simpati.

Introspeksi, sebagaimana kita tahu, adalah tindakan bercermin untuk mengetahui dan menemukan diri sendiri. Sementara outrospeksi—sebetulnya, kata ini belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—adalah tindakan keluar dari diri dan ‘menggunakan sepatu orang lain’, atau menjadi semacam hologram dan masuk ke dalam kehidupan orang lain, agar bisa menemukenali diri sendiri.

Salah satu perihal yang saat ini seharusnya mendapatkan perhatian amat serius, bagi Krznaric, adalah cinta. Sebagaimana Badiou, pemikir kelahiran Australia ini juga melihat arti penting cinta bagi keberlangsungan kehidupan yang baik hingga ke masa depan.

Ketika membahas cinta, Krznaric—duh, susah sekali mengeja nama ini!—melihat satu persoalan yakni cara kita memaknai cinta yang semakin sempit. Dan salah satu letak soalannya adalah bahasa. Dalam kasus kita di Indonesia, dalam segala segi kehidupan kita umumnya hanya menggunakan kata ‘cinta’—loveuntuk kasus yang dibahas di buku Krznaric.

Bagi pecandu kopi seperti saya tahu bahwa ada begitu banyak istilah untuk menyebut beragam jenis olahan kopi. Espresso, latte, cappuccino, frappuccino, mochaccino, macchiato, dan seterusnya. Tapi, kita tampaknya hanya mengenal satu jenis cinta—atau, lebih tepatnya, kita menggunakan satu kata untuk menyebut berbagai macam tipe cinta.

Di kebudayaan Yunani—saya cukup beruntung pernah mengambil mata kuliah Mitologi Romawi-Yunani, meskipun nilainya kurang bagus—dikenal setidaknya enam tipe cinta dengan nama berbeda-beda.

Ada eros untuk mewakili jenis cinta yang penuh hasrat seksual. Ada juga yang disebutphilia untuk menyebut cinta yang lebih berorientasi persahabatan, persaudaraan, atau pertemanan. Selain itu, ada ludus untuk cinta yang kekanak-kanakan dan agape untuk cinta yang lebih radikal—cinta yang bisa membuat Anda berempati kepada manusia atau mahluk lain. Jenis cinta inilah yang membuat kita hari ini ikut merasakan kesedihan dan kesusahan ribuan manusia lain karena letusan gunung Kelud dan Sinabung.

Bukan hanya itu, mereka juga mengenal pragma, cinta yang lebih dewasa—kesalingpengertian yang bisa memperkokoh dan mempertahankan hubungan sepasang suami-istri. Jenis cinta inilah yang dalam bahasa Erich Fromm bisa membuat kita “stand in love”,bukan semata “fall in love”. Ketika Anda sering berpikir tentang angka perceraian yang terus meningkat—seperti yang juga diresahkan Badiou di bukunya—, barangkali hal itu disebabkan oleh hilangnya makna ini dari kata “cinta”.

Terakhir, ada jenis cinta bernama philautia atau cinta kepada diri sendiri. Jenis ini ada dua macam. Jenis yang menghancurkan adalah terobsesi kepada diri sendiri, misalnya, terus-menerus berusaha menggapai ketenaran personal dan semacamnya. Tetapi, ada jenis yang lebih sehat. Aristoteles menyebutnya, “All friendly feelings for others are an extension of man’s feelings for himself.”

Salah satu akar persoalan dari hal yang dikritik Efek Rumah Kaca dan Badiou saya kira adalah karena makna cinta menjadi semakin sempit—bahkan cenderung tunggal. Lihat misalnya, bagaimana Efek Rumah Kaca tidak secara spesifik menyebut jenis cinta yang mana yang mereka sebut klise, banal, dan ‘menye-menye’ itu.

Mari kita melongok ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sesungguhnya bahasa kita tidak miskin-miskin amat. Selain cinta,di sana ada kata-kata semacam asmara, kasih,dansayang. Namun, kata-kata itu dalam KBBI—bahkan di edisi terbaru—tidak memiliki makna yang spesifik. Anda pasti akan bingung membedakan makna masing-masing kata tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun