Mohon tunggu...
M Aan Mansyur
M Aan Mansyur Mohon Tunggu... -

Penyuka tomat. Sehari-hari bekerja sebagai relawan di Komunitas Ininnawa, di Makassar. Tulisan-tulisannya yang lain bisa dibaca di blog pribadinya: www.hurufkecil.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Efek Rumah Kaca, Badiou, dan Bahasa Cinta

14 Februari 2014   09:31 Diperbarui: 24 Januari 2017   10:55 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trio Pop Minimalis, Efek Rumah Kaca | KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

PADA 2007, sehari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia, tiga anak muda merilis album pertama berisi selusin lagu. Mereka menyebutnya Efek Rumah Kaca—judul salah satu lagu di album tersebut, sekaligus nama grup musik mereka.

Efek Rumah Kaca (ERK) muncul ketika industri musik Indonesia sedang didominasi lagu cinta yang cengeng, mendayu-dayu, dan miskin makna. Single pertama mereka, Jatuh Cinta Biasa Saja, adalah sindiran ringan atas kenyataan tersebut. Lagu itu membuat nama mereka dikenal. Tapi, seperti judulnya, penerimaan masyarakat juga biasa saja.

Setelah mengeluarkan single kedua, Cinta Melulu, para penikmat musik Indonesia segera menyadari keistimewaan grup musik ini. Kepingan cakram padatnya laku, lagu-lagunya diputar di mana-mana, dan harus sibuk mengatur jadwal naik pentas.

Cinta Melulu dibuka dengan musik yang riang dan lirik yang terus-terang: Nada-nada yang minor/ Lagu perselingkuhan/ Atas nama pasar semuanya begitu klise.Sindiran ERK terhadap industri musik Indonesia kian jelas di lagu ini. “Oh, oh… Lagu cinta melulu,” kata mereka.

Sebagai penggemar lagu-lagu ERK, saya menganggap Jatuh Cinta Biasa Sajadan Cinta Melulu bukan sekadar kritikan atas dunia musik Indonesia. Grup musik yang lagu-lagunya sarat tema sosial-politik ini tidak hanya menumpahkan kejengahan karena cinta jadi komoditas murahan.

Melalui kedua lagu tersebut, ERK sesungguhnya mengkritik cara kita memahami dan memusnahkan cinta. Bahkan, lebih jauh dari itu, mereka sedang melakukan apa yang diharapkan oleh Arthur Rimbaud dalam salah satu puisi di bukunya Une Saison en Enfer (A Season in Hell). “Seperti kita tahu, cinta butuh ditemukan kembali, kata penyair Prancis yang pernah berada di Jawa selama beberapa minggu pada 1876 itu.

*

DI Paris, setahun setelah ERK meluncurkan album debut, berlangsung percakapan antara Alain Badiou, dan wartawan Le Monde, Nicolas Truong, di hadapan pengunjung Festival Avignon. Mereka juga berusaha menemukan cinta kembali.

Badiou muak melihat cinta menjadi komoditas yang kering—terutama dipelopori oleh situs-situs kencan di Internet. Perlakuan semacam itu, bagi Badiou, juga berarti penghancuran atas cinta. Dalam ancaman musnahnya cinta sebagai kebenaran, atau ideadalam istilah Plato, Badiou melihat tugas filsafat untuk menyelematkannya—atau menemukannya kembali seperti kata Rimbaud.

Dalam banyak ulasan, Badiou memang sering dianggap sebagai pemikir terdepan yang meletakkan filsafat kembali ke posisinya yang penting. Lebih jauh tentang pikiran-pikiran Badiou, sila baca buku Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (ResistBook, 2011).

Setelah mengalami sedikit revisi, pada 2009, transkrip percakapan antara Badiou dan Troung tersebut terbit sebagai buku, Éloge de l’amour, meminjam judul film Jean-Luc Godard.

Dalam buku itu, Badiou memaparkan sejumlah perihal menarik mengenai cinta—salah satu persoalan paling licin dari kehidupan manusia yang menurutnya sering dihindari, sekaligus disalahtafsirkan, oleh para filsuf dan pemikir dunia. Badiou ingin menyelamatkan cinta dari musuh-musuhnya, salah satunya situs-situs kencan online—yang dalam kasus Efek Rumah Kaca adalah industri musik.

Berangkat dari buku-buku terdahulunya, terutama Being and Event, Badiou memberi uraian yang lebih masuk akal mengenai cinta. Dia mengkritik pandangan para filsuf Yunani hingga posmodern yang melulu melihat cinta dari sudut pandang hasrat dan moralitas.

Cinta bukan kontrak antara dua orang yang mencintai diri sendiri melalui orang lain. “Cinta adalah bangunan yang memaksa dua individu untuk melampaui narsisme,” kata Badiou.

Cinta, bagi Badiou, adalah pikiran—seperti kata penyair Portugal, Fernando Pessoa: Love is a thought.

Mula-mula Badiou menunjukkan analisis dari struktur arena cinta dan transformasinya menjadi prosedur kebenaran. Setelah itu, Badiou memaparkan hubungan antara cinta dan prosedur kebenaran lainnya, yakni politik dan seni.

Saya tidak akan menceritakan lebih jauh uraian Badiou mengenai cinta di catatan ini. Anda bisa membacanya sendiri melalui buku tipis yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 2012 menjadi In Praise of Love—mengikuti versi Inggris judul film sutradara yang sering dikaitkan dengan gerakan La Nouvelle Vaguetersebut.

Tapi, sebelum menutup bagian ini, saya ingin mengutip satu pandangan Badiou yang sangat menarik perihal cinta. Badiou mengatakan bahwa cinta bisa kita sebut sebagai komunisme mungil.

“[T]he real subject of a love is the becoming of the couple and not the mere satisfaction of the individuals that are its component parts. Yet another possible definition of love: minimal communism!”

(Pada bagian ini, Anda boleh berpikir mengenai beberapa kelompok tertentu yang ketakutan pada komunisme di Indonesia dan akhir-akhir ini kerap menyerang diskusi buku Tan Malaka di berbagai kota. Anda juga boleh tersenyum.)

*

TENTU saja, ada beberapa kritikan atas pikiran-pikiran Badiou dalam In Praise of Love. Bagi saya sendiri, meskipun Badiou juga membahas kaitan cinta dengan seni—dan menjadikan sejumlah karya sastra sebagai contoh—, tapi dia luput melihat satu soalan: bahasa.

Pada November 2012, pemikir budaya dan co-founder The School of Life di London, Roman Krznaric, menerbitkan buku berjudul The Wonderbox: Curious Histories of How to Live. Setahun kemudian, buku tersebut terbit untuk pembaca Amerika dengan judul How Should We Live?: Great Ideas from the Past for Everyday Life. Dalam buku ini, Krznaric melihat bahwa abad ke-21 seharusnya menjadi abad outrospeksi yang elemen utamanya adalah empatibandingkan dengan istilah introspeksi, juga simpati.

Introspeksi, sebagaimana kita tahu, adalah tindakan bercermin untuk mengetahui dan menemukan diri sendiri. Sementara outrospeksi—sebetulnya, kata ini belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—adalah tindakan keluar dari diri dan ‘menggunakan sepatu orang lain’, atau menjadi semacam hologram dan masuk ke dalam kehidupan orang lain, agar bisa menemukenali diri sendiri.

Salah satu perihal yang saat ini seharusnya mendapatkan perhatian amat serius, bagi Krznaric, adalah cinta. Sebagaimana Badiou, pemikir kelahiran Australia ini juga melihat arti penting cinta bagi keberlangsungan kehidupan yang baik hingga ke masa depan.

Ketika membahas cinta, Krznaric—duh, susah sekali mengeja nama ini!—melihat satu persoalan yakni cara kita memaknai cinta yang semakin sempit. Dan salah satu letak soalannya adalah bahasa. Dalam kasus kita di Indonesia, dalam segala segi kehidupan kita umumnya hanya menggunakan kata ‘cinta’—loveuntuk kasus yang dibahas di buku Krznaric.

Bagi pecandu kopi seperti saya tahu bahwa ada begitu banyak istilah untuk menyebut beragam jenis olahan kopi. Espresso, latte, cappuccino, frappuccino, mochaccino, macchiato, dan seterusnya. Tapi, kita tampaknya hanya mengenal satu jenis cinta—atau, lebih tepatnya, kita menggunakan satu kata untuk menyebut berbagai macam tipe cinta.

Di kebudayaan Yunani—saya cukup beruntung pernah mengambil mata kuliah Mitologi Romawi-Yunani, meskipun nilainya kurang bagus—dikenal setidaknya enam tipe cinta dengan nama berbeda-beda.

Ada eros untuk mewakili jenis cinta yang penuh hasrat seksual. Ada juga yang disebutphilia untuk menyebut cinta yang lebih berorientasi persahabatan, persaudaraan, atau pertemanan. Selain itu, ada ludus untuk cinta yang kekanak-kanakan dan agape untuk cinta yang lebih radikal—cinta yang bisa membuat Anda berempati kepada manusia atau mahluk lain. Jenis cinta inilah yang membuat kita hari ini ikut merasakan kesedihan dan kesusahan ribuan manusia lain karena letusan gunung Kelud dan Sinabung.

Bukan hanya itu, mereka juga mengenal pragma, cinta yang lebih dewasa—kesalingpengertian yang bisa memperkokoh dan mempertahankan hubungan sepasang suami-istri. Jenis cinta inilah yang dalam bahasa Erich Fromm bisa membuat kita “stand in love”,bukan semata “fall in love”. Ketika Anda sering berpikir tentang angka perceraian yang terus meningkat—seperti yang juga diresahkan Badiou di bukunya—, barangkali hal itu disebabkan oleh hilangnya makna ini dari kata “cinta”.

Terakhir, ada jenis cinta bernama philautia atau cinta kepada diri sendiri. Jenis ini ada dua macam. Jenis yang menghancurkan adalah terobsesi kepada diri sendiri, misalnya, terus-menerus berusaha menggapai ketenaran personal dan semacamnya. Tetapi, ada jenis yang lebih sehat. Aristoteles menyebutnya, “All friendly feelings for others are an extension of man’s feelings for himself.”

Salah satu akar persoalan dari hal yang dikritik Efek Rumah Kaca dan Badiou saya kira adalah karena makna cinta menjadi semakin sempit—bahkan cenderung tunggal. Lihat misalnya, bagaimana Efek Rumah Kaca tidak secara spesifik menyebut jenis cinta yang mana yang mereka sebut klise, banal, dan ‘menye-menye’ itu.

Mari kita melongok ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sesungguhnya bahasa kita tidak miskin-miskin amat. Selain cinta,di sana ada kata-kata semacam asmara, kasih,dansayang. Namun, kata-kata itu dalam KBBI—bahkan di edisi terbaru—tidak memiliki makna yang spesifik. Anda pasti akan bingung membedakan makna masing-masing kata tersebut.

Saya kira, kita harus berani memaknai ulang kata-kata itu dan menggunakannya untuk menyelamatkan cinta dari komodifikasi dan musuh-musuhnya yang lain. Barangkali usaha semacam itu bagus dimulai dari karya sastra—seperti yang dilakukan Remy Sylado ketika ‘mendefinisikan’ perempuan dan wanita, misalnya, di novel Ca Bau Kan.

Barangkali setelah itu, Anda tidak lagi perlu khawatir kekasih Anda akan marah ketika Anda mengatakan “Saya sayang kamu” kepada orang lain—karena dia tahu cinta Anda kepada orang itu berbeda dengan cinta Anda kepadanya. Atau, followerAnda di Twitter tidak akan langsung menghakimi Anda galau—oh, kata ini juga semakin sempit maknanya—ketika Anda, misalnya, menulis: Ah, dia tidak mencintai saya lagi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun