Mohon tunggu...
Antonio Mota
Antonio Mota Mohon Tunggu... Penulis - Lelaki Rebutan, Suka Makan Jagung Titi, Susu Milo, Puisi dan Kamu. Inginku mengajakmu memahat langit pakai sajak yang ditulis ibu dengan ayat-ayat do'a

Lelaki Rebutan. Suka Jagung Titi, Susu Milo, Puisi dan Kamu. Caraku mencintaimu sederhana: Aku ingin mengajakmu memahat langit pakai sajak yang ditulis ibu dengan ayat-ayat do'a. Sebab kamu adalah nafas yang mendenyutkan setiap goresanku.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Selimut Demokrasi dan Puisi Pahit oleh Mota

16 Maret 2019   23:04 Diperbarui: 16 Maret 2019   23:41 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

PUISI PAHIT

Ibu pertiwi

Pesonamu begitu indah

Namamu harum mewangi

Bergema di ujung samudera

Sseperti bidadri bermata cinta,

Mengapa di pundakmu masih ada noda anarkis?

Ibu pertiwi

Sendengkan telingamu

Aku ingin bisikan sesuatu padamu

Sebab, Aku tak mau  menyimpannya

Aku tak rela sayap-sayap pancasilaku kotor dan noda

Dengarlah

Aku punya tiga puisi pahit;

Satu perbedaan ras

Dua ketidakadilan

Tiga diskriminasi

Kalau kau rasa itu pahit

Tolong jauhkan dari negeri ini

Negeri yang mencintai perbedaan

Negeri yang bermahkotakan pancasila

Dan negeri yang berjunjung tinggi nilai-nilai moral

Ibu pertiwi

Ini Terlalu pahit

Jangan membiarkannya berakar di atas  pusaramu

Itu duri yang akan menikam jantungmu

Itu senjata yang akan membuatmu tak bernyawa

Hingga namamu tercium bau di atas semeta

Segeralah lenyakannya

Itu terlalu pahit

SUARAKU PATAH DI JALAN

Di atas pusar negeri tercinta

Aku ingin melagu dengan suara pancasila

Namun suaraku selalu patah di tengah jalan,

Aku ingin memeluk kedamaian

Namun sulit untuk dicapai

Seperti air yang mengalir membasahi tanah yang kering

Rinduku akan keadilan dan kedamaian

Tak bisa diukur dengan meter nepotisme

Oh, negeriku tercinta

Seperti rahim ibu tempat yang jauh dari terik matahari

Kaulah tempat aku berlindung, kaulah tempat aku sematkan harapan

Tapi, mengapa ada air mata?

Mengapa masih ada dusta?

Mengapa korupsi tak pernah berakhir?

Negeriku tercinta,

Dengan kata yang tak berarti

Dengan suara demokrasi,

Aku berkata jujur,

Aku hanya rakyat kecil

Yang siang malam memikul pacul, parang dan linggis

Demi hidup yang layak.

SELIMUT DEMOKRASI

Di rahim bumi nusantara

Terbaca sajak-sajak kemerdekaan

Lalu bergema di ujung langit

Senandungkan  Demokrasi

Di atas bukit-bukit mandiri

Elegi cinta berkumandang

Dengan mahkota patriotisme

Untuk merawat dan menjaga

Sebgai jawaban atas tangisan Negeri

Serupa bidadari bermata cinta

Berkilau mengusir kegalauan

Larik-larik patriotisme semakin bersinar di ujung samudera

Namun apalah daya

Korupsi di negeri ini semakin menggelora

Keadilan semakin memudar

Kedamaian semakin sirna

Ah, inikah yang disebut demokrasi?

Bila keadilan dan kedamaian

Adalah denyut nadi

Untuk memuliakan negeri ini,

Rawatlah keadilan,

Kuburkan korupsi

Ciptakan kedamaian

Madahkan demokrasi,

Sebab, negeri ini bersayap pancasila

Ini bukan rekayasa

Bukan cerita dongeng

Bukan gombalan anarkis

Tapi,

Sajak kudus yang mesti dibalut

dengan selimut demokrasi

Kupang, Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun