Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak Sekolah Era Gen-Z: Antara Kepuasan Instan dan Masa Depan yang Cerah

12 Oktober 2024   20:10 Diperbarui: 12 Oktober 2024   20:20 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi Z (Gen-Z), diidentifikasi sebagai generasi yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan internet dan gadget. Mereka familiar dengan kemajuan perangkat teknologi serta pemanfaatannya dalam berbagai bidang kehidupan, seringkali dilekati dengan label "generasi instan". Kemudahan dan fleksibilitas akses terhadap informasi serta hiburan membuat Gen-Z terbiasa dengan kepuasan yang datang seketika. 

Fenomena ini, dikenal sebagai  instant gratification, telah menjadi perhatian serius karena berpotensi menghambat perkembangan jangka panjang individu. Instant gratification adalah kecenderungan untuk mencari kepuasan secara cepat, instan, dan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. 

Dalam konteks akademik, hal ini dapat terlihat dari kebiasaan menunda tugas akhir, kurangnya motivasi untuk belajar secara mendalam, dan kesulitan dalam menghadapi tantangan. Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia cenderung memilih hadiah kecil yang seketika itu ada, dari pada hadiah besar yang membutuhkan proses dan waktu untuk didapatkan.

Instant Gratification Menjadi Masalah?

Beberapa penelitian telah menunjukkan dampak negatif dari instant gratification terhadap perkembangan individu. Salah satu studi yang paling terkenal adalah Marshmallow Test. Eksperimen ini menunjukkan bahwa anak-anak yang mampu menunda kepuasan untuk mendapatkan hadiah yang lebih besar cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih baik, hubungan sosial yang lebih sehat, dan tingkat stres yang lebih rendah di kemudian hari. 

Studi tersebut juga dikuatkan oleh penelitian dari Duke University menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki kontrol diri lebih baik cenderung sukses secara akademis dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik di masa dewasa (Moffitt et al., 2011). Sebaliknya, peserta didik yang terbiasa dengan instant gratification cenderung kurang mampu mengembangkan keterampilan penting seperti ketekunan, kerja keras, dan kemampuan menghadapi kegagalan.

Masifnya laju kecanggihan teknologi digital semakin memperkuat instant gratification. Peserta didik kini memiliki akses ke berbagai sumber informasi instan melalui internet, yang meskipun informasi tersebut memiliki manfaat juga bisa membuat mereka kehilangan motivasi untuk menggali pengetahuan secara mendalam. 

Penelitian oleh Pew Research Center (2018) menemukan bahwa 64% guru di Amerika Serikat merasa bahwa siswa mereka lebih bergantung pada teknologi untuk menemukan jawaban dengan cepat, daripada mengembangkan kemampuan pemecahan masalah atau pemahaman konseptual yang mendalam. Instant gratification juga memberikan dampak lain bagi Gen-Z, utamanya mereka yang masih dalam masa pendidikan dan sekolah. Efek yang mungkin timbul antara lain:

1. Menghambat Pembelajaran Jangka Panjang

Perilaku mencari kepuasan instan dapat menghalangi perkembangan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Sebagai contoh, siswa yang terbiasa menggunakan mesin pencari seperti Google dan bahkan memanfaatkan Ai (Artificial Intelligence) untuk menemukan jawaban suatu persoalan, besar kemungkinan siswa tersebut sulit memiliki kemampuan analitis yang diperlukan untuk pemahaman konsep yang lebih kompleks.

2. Kurangnya Kemampuan Mengatasi Tantangan

Peserta didik yang terbiasa mendapatkan hasil yang cepat mungkin akan kesulitan saat dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks dan waktu yang lebih lama. Ini dapat berdampak buruk pada kesiapan mereka untuk menghadapi dunia kerja, di mana keterampilan seperti ketekunan dan manajemen waktu sangat diperlukan.

3. Meningkatkan Stres dan Kecemasan 

Fenomena instant gratification juga memberikan sumbangan terhadap meningkatnya tingkat stres dan kecemasan di kalangan siswa. Ketika peserta didik tidak terbiasa melakukan usaha maksimal (effort) dalam menyelesaikan tugas atau probelm, mereka menjadi lebih mudah frustrasi ketika tidak mendapatkan hasil yang diinginkan dalam waktu singkat. Menurut sebuah studi oleh American Psychological Association (2019), siswa yang memiliki pola pikir instant gratification cenderung lebih mudah mengalami stres saat menghadapi ujian atau tugas akademik yang menuntut.

Masa Depan yang Cerah

Meskipun anak sekolahan Gen-Z memiliki realitas instant gratification yang tentu menimbulkan problem serta menghambat produktifitas di masa depan. Bukan berarti masa depan mereka akan gelap, tak tentu arah, serta mengekor pada kemajuan semu. Gen-Z dengan segala dinamika dan problematikanya masih memiliki potensi yang mungkin menjadi peluang dalam tatanan masa depan yang cerah. Menghilangkan pola pikir instant gratification pada peserta didik, diperlukan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak, termasuk guru, orang tua, dan peserta didik itu sendiri. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan guna terhindar dari pola pikir instant gratification.

Membangun Kesadaran Diri

Langkah pertama dalam mengatasi pola pikir instant gratification adalah membantu peserta didik memahami dampak negatif dari kebiasaan ini terhadap perkembangan dan masa depan mereka. Sekolah, guru dan orang tua harus membangun kemitraan dalam penanaman nilai karakter kesabaran, tekun, dan tahapan mencapai kesuksesan hidup. Memakai percontohan nyata dari kehidupan sehari-hari dapat membantu peserta didik menyadari bahwa proses pembelajaran memerlukan waktu dan usaha.

Guru atau orang tua bisa menerapkan latihan menunda kepuasan sebagai cara untuk melatih kesabaran dan ketekunan pada peserta didik. Salah satu contoh terkenal adalah Marshmallow Test, yang menguji kemampuan anak untuk menunda kepuasan dengan menjanjikan hadiah yang lebih besar jika mereka bersedia menunggu. 

Guru memberikan sebuah aktivitas di mana siswa diberi pilihan antara menerima hadiah kecil sekarang (misalnya, sepotong permen) atau menunggu 15 menit untuk menerima hadiah yang lebih besar (misalnya, dua potong permen). Setelah eksperimen selesai, guru bisa berdiskusi dengan siswa tentang perasaan mereka selama menunggu dan apakah penantian tersebut sepadan dengan hasil yang mereka dapatkan.

Diskusi ini bisa mengarah pada pembahasan bahwa banyak hal dalam hidup yang memerlukan kesabaran dan ketekunan, dan hasil yang lebih memuaskan sering kali membutuhkan waktu dan usaha lebih. Guru kemudian bisa mengaitkan latihan ini dengan dunia akademik, di mana menunda hiburan atau kepuasan sesaat (misalnya, menunda bermain game untuk belajar lebih giat) bisa menghasilkan pencapaian yang lebih besar di masa depan.

Perencanaan dan Manajemen Waktu

Mulai tahapan pendidikan dasar peserta didik dapat diajari keterampilan manjemen waktu.  Mereka perlu diajarkan bagaimana membagi waktu mereka untuk tugas-tugas yang berbeda, serta bagaimana menetapkan prioritas. Membuat jadwal belajar yang terstruktur dapat membantu mereka menyadari bahwa tugas yang besar dapat diselesaikan dengan memecahnya menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dikelola. Sebagai contoh, penggunaan to-do list untuk mengajarkan manajemen waktu. Guru bisa meminta siswa untuk membuat daftar hal-hal yang harus mereka lakukan setiap hari, termasuk pekerjaan sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan waktu luang. Setiap kali mereka menyelesaikan tugas, mereka bisa mencoretnya dari daftar, yang memberikan rasa pencapaian.

Di pagi hari, siswa diberi waktu lima menit untuk membuat daftar tugas-tugas harian yang harus mereka selesaikan, misalnya:

1. Menyelesaikan latihan matematika halaman 20-25

2. Membaca cerita dari buku Bahasa Indonesia selama 20 menit

3. Menonton video edukasi untuk pelajaran sains selama 30 menit

4. Bermain di luar rumah selama 1 jam

Guru bisa meminta siswa untuk memeriksa daftar mereka di akhir hari untuk melihat apakah mereka berhasil menyelesaikan semua tugas tersebut. Dengan cara ini, siswa belajar untuk memprioritaskan pekerjaan mereka dan merencanakan waktu yang diperlukan untuk setiap tugas.

Tanggung Jawab dan Kemandirian

Peserta didik harus diajari untuk mengambil tanggung jawab atas proses pembelajaran mereka sendiri. Guru dapat mendorong siswa untuk menetapkan tujuan belajar jangka panjang dan memberikan penghargaan atas usaha yang mereka lakukan, bukan hanya hasil akhirnya. Dengan demikian, peserta didik akan mulai menghargai proses belajar itu sendiri, bukan hanya hasil yang cepat. Guru dapat menerapkan konsep learning contract atau kontrak belajar, di mana siswa dan guru bersama-sama menetapkan tujuan belajar jangka panjang serta langkah-langkah untuk mencapainya. 

Peserta didik diberi kesempatan untuk menentukan target pencapaian mereka sendiri sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Dalam learning contract ini, peserta didik berkomitmen untuk mematuhi target yang sudah disepakati, dan mereka bertanggung jawab untuk memonitor kemajuan mereka sendiri. Pada akhir periode tertentu (misalnya, satu semester), guru dan siswa mengevaluasi kontrak ini bersama-sama, dengan menekankan bagaimana siswa telah berusaha mencapai tujuan tersebut.

Contoh penerapan learning contract, peserta didik yang kesulitan dalam Fisika membuat kontrak dengan guru untuk meningkatkan nilai Fisikanya dalam waktu enam bulan. Bersama guru, peserta didik tersebut menetapkan target untuk mengerjakan soal latihan Fisika selama 30 menit setiap hari dan meminta bimbingan jika menemui kesulitan. Setiap dua minggu, siswa bertemu dengan guru untuk mengevaluasi apakah target ini tercapai. Guru memberikan apresiasi setiap kali siswa menunjukkan kemajuan, baik dari segi usaha yang konsisten maupun peningkatan pemahaman, tanpa harus menunggu sampai hasil ujian terlihat.

Instant gratification merupakan realitas nyata yang dihadapi generasi muda saat ini. Dengan begitu banyak kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi, peserta didik menjadi semakin tergantung pada hasil yang instan, yang pada akhirnya dapat merugikan perkembangan akademis dan pribadi mereka. Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena ini dan upaya bersama dari berbagai pihak, kita dapat membantu generasi Z untuk tumbuh menjadi individu yang sukses, bahagia, dan berdaya guna. 

Upaya pendidikan tentang pentingnya kesabaran dan ketekunan, pengajaran keterampilan manajemen waktu, kemandirian dan tanggung jawab akan sedikit banyak membentuk kesiapan mental Gen-Z. Pada akhirnya, pendidikan harus kembali menekankan pentingnya proses pembelajaran jangka panjang sebagai fondasi untuk sukses di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun