Mohon tunggu...
Fajrin Hardinandar
Fajrin Hardinandar Mohon Tunggu... Human Resources - Murid dari alam

Setiap fikiran yang rasional harus dimulai dari tulisan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Darurat Sipil, Ekonomi Politik Pemerintah Pusat yang Terbaca

31 Maret 2020   19:01 Diperbarui: 31 Maret 2020   19:00 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan tidak dilakukannya karantina wilayah maka dampak ekonomi yang dirasakan korporasi tidak begitu besar. Memang, dengan kebijakan tersebut baik untuk mempertahankan kedaulatan rupiah di tengah depresiasi. Tapi jika dipikir-pikir, kenapa harus gagu jika rupiah terdepresiasi? 

Bukannya semua mata uang negara-negara di dunia sedang mengalami hal yang sama, yaitu depresisasi mata uang domestik. Jadi sebenarnya Indonesia tidak perlu gengsi soal depresiasi, atau pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di beberapa hari mendatang, sebab covid19 adalah isu global, bukan keteledoran rezim.

Darurat sipil, secara kasar memotong perekonomian kelas bawah karena adanya pembatasan aktivitas pasar rakyat, yang di dalamnya ada pedagang, UMKM, petani, kaum miskin kota dan desa juga para buruh, daya beli mereka pasti akan merosot di tengah pembatasan sosial berskala besar. 

Oleh sebab itu, UU Karantina Kesehatan tersebut mengatur, jika terjadi karantina wilayah maka pemerintah pusat wajib menanggung biaya hidup rakyat selama masa karantina diberlakukan. 

Hal itu dilakukan selain untuk menjamin hidup masyarakat selama pembatasan sosial berskal besar tersebut, juga untuk menjaga daya beli masyarakat agar tidak merosot. 

Sebagaimana Cina saat melakukan karantina pada beberapa wilayah, juga Irlandia dan Malaysia yang memberikan gratis kuota internet selama masa karantina. Belakangan Italy dan Prancis melakukan hal yang sama setelah kasus positif covid19 di negara mereka semakin tak terkendali.

Anggaran pemerintah pusat mungkin defisit, sehingga sangat tidak mungkin untuk memberikan suntikan dana ke masyarakat yang jumlahnya kurang lebih sebanyak 260 juta jiwa tersebut, pemangkasan anggaran daerah pun mungkin belum cukup, terlebih lagi jika masa karantina wilayah dalam waktu yang lama. 

Ngutang di IMF atau World Bank pun perlu mikir panjang, kondisi ekonomi kita sedang tidak stabil, rupiah melemah, tentu akan memberatkan dalam jangka panjang jika harus ngutang. Tapi mari kita hitung-hitungan sedikit soal aset Individu orang kaya di Indonensia yang sebenarnya punya potensi fiskal yang besar. 

Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), indeks gini per Maret 2019 sebesar 0,38 koefisien gini. Artinya, 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai kekayaan sebesar 38 persen. 

Sementara menurut data dari Credit Suisse bahwa 1 persen dari penduduk terkaya di Indonesia menguasai 45 persen total kekayaan nasional, sisanya sebesar 55 persen dibagi dengan 99 persen rakyat Indonesia. 

Selain itu, harian Forbes melaporkan bahwea aset orang kaya di Indonesia per 2019 sebesar 1.448 triliun dan terus mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun