Mohon tunggu...
Fajrin Hardinandar
Fajrin Hardinandar Mohon Tunggu... Human Resources - Murid dari alam

Setiap fikiran yang rasional harus dimulai dari tulisan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Darurat Sipil, Ekonomi Politik Pemerintah Pusat yang Terbaca

31 Maret 2020   19:01 Diperbarui: 31 Maret 2020   19:00 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari terakhir ini, masyarakat dan akademisi dihebohkan dengan penyampaian Jubir kepresidenan, Fadjroel Rachman yang menyatakan bahwa opsi terakhir dari penanganan Covid19 di Indonesia adalah pembatasan sosial berskala besar dengan pemberlakuan darurat sipil yang diadopsi dari Perpu No 23 Tahun 1959. 

Lalu timbul pertanyaan kritis, kenapa harus darurat sipil ? Kenapa tidak karantina wilayah saja ? Sementara pada tataran Implementasi dan Goals yang diharapkan keduanya hampir sama.

Intinya begini, jika pemerintah memberlakukan karantina wilayah atau lockdown, maka pemerintah pusat diwajibkan untuk menanggung beban hidup, baik manusia maupun hewan ternak selama masa karantina. 

Begitu kurang lebih bunyi Undang-undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pasal 55. Sementara dengan menggunakan perpu darurat sipil, tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan manusia dan hewan ternak tidak ditentukan, artinya dengan menggunakan perpu darurat sipil  maka hilanglah tanggung jawab pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan rakyat selama masa darurat sipil diberlakukan. 

Dengan kata lain, jika masa darurat sipil diberlakukan selama kurang lebih dua bulan maka rakyat harus sejak dini mempersiapkan kebutuhan makanan dan lainnya untuk dua bulan ke depan karena semua aktivitas jual beli akan berhentikan sementara. 

Tentu dalam kondisi seperti itu, kemungkinan-kemungkinan bisa terjadi, salah satunya produsen akan menaikan harga bahan pokok dan lainnya akibat dari ekspektasi meningkatnya permintaan. 

Atau terjadi kelangkaan akibat dari penimbunan bahan pokok, maka akan terjadi penjarahan dan ketidakstabilan keamanan. Secara esensial, kedua strategi dalam upaya meminimalisir penyebaran covid19 itu sebenarnya memiliki implementasi dan goals yang sama, physical distancing berskala besar dengan penekanan yang represif. 

Tim peneliti dari Universirtas Gadjah Mada (UGM) memang menyarankan intervensi skala besar untuk menekan virus spread di kalangan masyarakat. 

Dengan intervensi ketat melalui parsial lockdown dan physical distancing diprediksi bahwa total penderita adalah sebesar 185 pasien/hari pada pertengahan april dan akan menurun setelahnya. 

Konsekuensi ekonomi politik dari kedua kebijakan tersebut, yaitu karantina wilayah dan darurat sipil berbeda, meskipun secara esensial hampir mirip. Dengan karantina wilayah, cost yang ditanggung pemerintah pusat jauh lebih besar dibanding dengan opsi darurat sipil.

Kedua, dengan kebijakan darurat sipil, pemerintah pusat terkesan berpihak pada korporasi dan investor, khususnya pada pasar modal, karena masih dimungkinkan untuk membuka jalur distibusi skala besar di pelabuhan, bandara atau terminal. 

Dengan tidak dilakukannya karantina wilayah maka dampak ekonomi yang dirasakan korporasi tidak begitu besar. Memang, dengan kebijakan tersebut baik untuk mempertahankan kedaulatan rupiah di tengah depresiasi. Tapi jika dipikir-pikir, kenapa harus gagu jika rupiah terdepresiasi? 

Bukannya semua mata uang negara-negara di dunia sedang mengalami hal yang sama, yaitu depresisasi mata uang domestik. Jadi sebenarnya Indonesia tidak perlu gengsi soal depresiasi, atau pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di beberapa hari mendatang, sebab covid19 adalah isu global, bukan keteledoran rezim.

Darurat sipil, secara kasar memotong perekonomian kelas bawah karena adanya pembatasan aktivitas pasar rakyat, yang di dalamnya ada pedagang, UMKM, petani, kaum miskin kota dan desa juga para buruh, daya beli mereka pasti akan merosot di tengah pembatasan sosial berskala besar. 

Oleh sebab itu, UU Karantina Kesehatan tersebut mengatur, jika terjadi karantina wilayah maka pemerintah pusat wajib menanggung biaya hidup rakyat selama masa karantina diberlakukan. 

Hal itu dilakukan selain untuk menjamin hidup masyarakat selama pembatasan sosial berskal besar tersebut, juga untuk menjaga daya beli masyarakat agar tidak merosot. 

Sebagaimana Cina saat melakukan karantina pada beberapa wilayah, juga Irlandia dan Malaysia yang memberikan gratis kuota internet selama masa karantina. Belakangan Italy dan Prancis melakukan hal yang sama setelah kasus positif covid19 di negara mereka semakin tak terkendali.

Anggaran pemerintah pusat mungkin defisit, sehingga sangat tidak mungkin untuk memberikan suntikan dana ke masyarakat yang jumlahnya kurang lebih sebanyak 260 juta jiwa tersebut, pemangkasan anggaran daerah pun mungkin belum cukup, terlebih lagi jika masa karantina wilayah dalam waktu yang lama. 

Ngutang di IMF atau World Bank pun perlu mikir panjang, kondisi ekonomi kita sedang tidak stabil, rupiah melemah, tentu akan memberatkan dalam jangka panjang jika harus ngutang. Tapi mari kita hitung-hitungan sedikit soal aset Individu orang kaya di Indonensia yang sebenarnya punya potensi fiskal yang besar. 

Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), indeks gini per Maret 2019 sebesar 0,38 koefisien gini. Artinya, 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai kekayaan sebesar 38 persen. 

Sementara menurut data dari Credit Suisse bahwa 1 persen dari penduduk terkaya di Indonesia menguasai 45 persen total kekayaan nasional, sisanya sebesar 55 persen dibagi dengan 99 persen rakyat Indonesia. 

Selain itu, harian Forbes melaporkan bahwea aset orang kaya di Indonesia per 2019 sebesar 1.448 triliun dan terus mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. 

Namun ajaibnya, kontribusi pajak dari orang kaya di Indonesia hanya sebesar 0,8 persen dari total penerimaan pajak. Dari sini sebenarnya kita tahu bahwa ada potensi fiskal begitu besar yang dapat digunakan tidak hanya untuk membiayai defisit fiskal dalam penanganan covid19, tapi juga digunakan bahkan untuk pemerataan pendapatan. 

Tapi yang terlihat justru pemerintah pusat takut dengan orang kaya dan korporasi, sehingga menteri keuangan lebih sering nguber-nguber pajak pedagang online dari pada korporasi. 

Jadi sebenarnya, pemerintah pusat sedang berakrobat dengan Undang-undang karantina kesehatan dan perpu darurat sipil di tengah terus meningkatnya angka pasien positif covid19 di Indonesia. 

Berusaha untuk menghasilkan cost efficiency dengan mengorbankan masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebijakan darurat sipil yang seakan-akan melenyapkan keabsahan dari pendekatan karantina kesehatan, khususnya karantina wilayah dalam penanganan covid19 di Indonesia kami pikir memiliki aroma pekat neolib yang syarat political of cost efficiency.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun