Kemiskinan selalu melahirkan cerita-cerita pilu kehidupan, mereka novel-novel terpendam yang menunggu ditulis oleh pena tajam keberanian.
Sementara mental miskin adalah penjara pikiran, layaknya angin yang meniup dedaunan kering, memberangus kepercayaan dan harapan manusia untuk keluar dari kemiskinan.
Apa miskin itu warisan? Aku tidak tahu, yang jelas dari kakek buyutku dari zaman Belanda, keluarga kami memang miskin.
Lalu, mengapa tidak ada yang berusaha keluar dari kemiskinan? Apa mental miskin sudah kadung melekat lama, mengendap menjadi darah daging yang susah kami singkirkan?
Aku pun tak tahu jawabannya. Yang pasti, malam ini aku hanya menatap gerobak dagangan yang masih penuh.
Gerobak dan isinya itu merupakan uang pesangon setelah bekerja selama 6 tahun, yang kemudian aku modalkan untuk membuka usaha.
Jika ada yang bertanya, kemana saja gajiku selama ini? Apa tidak ada tabungan sedikitpun? 6 tahun itu waktu yang cukup lama.
Sayangnya, tidak. Semua gajiku hanya numpang lewat setiap bulan. Bukan karena tagihan kartu kredit atau cicilan.
Namun, biaya hidup untuk 5 orang itu tidak murah. Belum lagi uang kontrakan, uang listrik, dan segala tetek bengek yang harus dikeluarkan tiap bulannya.
Aku si bungsu dari 3 bersaudara, menanggung makan kedua orang tuaku dan kedua kakakku.
Gaji UMR yang tidak seberapa habis tak bersisa, tetapi aku tetap bersyukur. Setidaknya, kami tidak kelaparan seperti masa kecilku dulu.
Sudah kubilang kan, keluargaku miskin. Syukur-syukur kami bertiga bisa lulus SMA dan mendapat ijazah dengan hasil menghutang dimana-mana.
Aku masih ingat linangan air mata bapak saat berhasil mengambil ijazah-ku, yang tertahan 2 bulan di sekolah.
Langkahnya terkepung oleh kata-kata pahit yang tak terucap di bibirnya, semangat perjuangannya untuk keluar dari sangkar kemiskinan diwariskan kepada ketiga anaknya.
“Akhirnya, anak bapak lulus sekolah. Jadi orang pintar semua.” ujar Bapak mengusap selembar ijazah bertuliskan namaku.
Ijazah SMA-ku ibarat cahaya harapan, keajaiban kecil dalam jiwa bapak yang selalu berjuang melawan kerasnya dunia.
Bapak selalu berharap tunas-tunas yang ia tanam dapat tumbuh meski di celah-celah jalan berbatu sekalipun.
Fajar harapan muncul pertama ketika kakak pertamaku membuka usaha kuliner bersama rekan kerjanya. Saat itu aku masih kelas 3 SMP.
1-2 bulan hasilnya menjanjikan. Berbekal izin bapak dan ibu, ia pun memberanikan diri menggadaikan sertifikat rumah peninggalan kakek yang kami tempati untuk memperbesar usahanya.
Sebagian uang pinjaman itu digunakan bapak untuk memasukkanku ke SMA negeri dan membayar biaya daftar ulang kakak kedua-ku. Aku berhasil masuk sekolah dengan nyaman.
Baru pertama kali aku merasa bangga bisa memakai seragam sekolah, bersama teman-temanku yang sudah membayar lunas uang masuk SMA.
Lalu krisis hebat melanda, ekonomi Indonesia jatuh terpuruk, tak terkecuali bisnis kakakku yang ikut hancur.
Ia kesulitan membayar cicilan, tak lama rumah mungil warisan kakek pun disita pihak bank. Sejak itu kami sekeluarga hidup di kontrakan yang sama saja kecilnya. Bedanya sekarang harus membayar perbulan.
Ternyata hutang kakak tidak hanya di bank, tetapi juga pada orang-orang yang ditawarkan berinvestasi di usahanya.
Kehidupan kami tidak pernah tenang, setiap hari ada saja orang yang datang ke rumah, menagih hutang atau keuntungan yang dijanjikan kakak dahulu.
Sampai-sampai ia hampir dipenjara. Ibu-lah yang bersimpuh memohon, agar anaknya tidak masuk bui.
Kakak pun kembali bekerja, tetapi semua gajinya digunakan untuk membayar hutang-hutangnya, hanya menyisakan uang bensin untuk motor tuanya.
Sementara kakak keduaku tak bisa diharapkan. Ia tidak suka bekerja, tetapi memangnya ada orang yang suka bekerja?
Sebentar saja ia bekerja, kemudian menganggur. Bekerja lagi, menganggur lagi. Begitu saja siklus hidupnya.
Sepertinya ia ingin mencoba semua perusahaan di kota ini sebelum puas. Oh, ya aku ingat, ia tidak bisa dikasari atau dimarahi.
Ada yang menyebutnya mental tempe, tetapi bagiku ia hanya terlalu idealis. Hah, sesuatu yang mahal untuk dimiliki orang miskin seperti kami.
Idealis tidak akan membuat perut kenyang, ingin sekali ku teriakan itu kepadanya. Namun, aku tidak sampai hati.
Dulu, saat usaha kakak pertama kami bangkrut. Ia-lah yang banting tulang menghidupi kami agar tetap bisa makan.
Maya Angelou boleh berkata,”Anda mungkin terlahir di bawah situasi yang buruk, tetapi anda tidak perlu tinggal di sana.”
Dia tidak tahu saja, berapa keras kami berusaha melangkah keluar. Kali ini pun sama, tapi ya sudahlah, apa mau dikata, memang sudah takdir-Nya.
Ah, lagi-lagi aku menyalahkan takdir untuk kehidupan kejam yang mematikan semangat dan menghancurkan jiwa kami.
Aku berjalan dalam keheningan malam, mendorong gerobak penuh harapan pudar, seperti serbuk debu di dunia yang tak terhirup nafas kedamaian.
Mungkin aku juga sama, jiwaku terperangkap oleh mental manusia miskin, impianku meluntur dihempas badai kelam kehidupan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H