Lalu krisis hebat melanda, ekonomi Indonesia jatuh terpuruk, tak terkecuali bisnis kakakku yang ikut hancur.
Ia kesulitan membayar cicilan, tak lama rumah mungil warisan kakek pun disita pihak bank. Sejak itu kami sekeluarga hidup di kontrakan yang sama saja kecilnya. Bedanya sekarang harus membayar perbulan.
Ternyata hutang kakak tidak hanya di bank, tetapi juga pada orang-orang yang ditawarkan berinvestasi di usahanya.
Kehidupan kami tidak pernah tenang, setiap hari ada saja orang yang datang ke rumah, menagih hutang atau keuntungan yang dijanjikan kakak dahulu.
Sampai-sampai ia hampir dipenjara. Ibu-lah yang bersimpuh memohon, agar anaknya tidak masuk bui.
Kakak pun kembali bekerja, tetapi semua gajinya digunakan untuk membayar hutang-hutangnya, hanya menyisakan uang bensin untuk motor tuanya.
Sementara kakak keduaku tak bisa diharapkan. Ia tidak suka bekerja, tetapi memangnya ada orang yang suka bekerja?
Sebentar saja ia bekerja, kemudian menganggur. Bekerja lagi, menganggur lagi. Begitu saja siklus hidupnya.
Sepertinya ia ingin mencoba semua perusahaan di kota ini sebelum puas. Oh, ya aku ingat, ia tidak bisa dikasari atau dimarahi.Â
Ada yang menyebutnya mental tempe, tetapi bagiku ia hanya terlalu idealis. Hah, sesuatu yang mahal untuk dimiliki orang miskin seperti kami.
Idealis tidak akan membuat perut kenyang, ingin sekali ku teriakan itu kepadanya. Namun, aku tidak sampai hati.Â