Gaji UMR yang tidak seberapa habis tak bersisa, tetapi aku tetap bersyukur. Setidaknya, kami tidak kelaparan seperti masa kecilku dulu.
Sudah kubilang kan, keluargaku miskin. Syukur-syukur kami bertiga bisa lulus SMA dan mendapat ijazah dengan hasil menghutang dimana-mana.
Aku masih ingat linangan air mata bapak saat berhasil mengambil ijazah-ku, yang tertahan 2 bulan di sekolah.
Langkahnya terkepung oleh kata-kata pahit yang tak terucap di bibirnya, semangat perjuangannya untuk keluar dari sangkar kemiskinan diwariskan kepada ketiga anaknya.
“Akhirnya, anak bapak lulus sekolah. Jadi orang pintar semua.” ujar Bapak mengusap selembar ijazah bertuliskan namaku.
Ijazah SMA-ku ibarat cahaya harapan, keajaiban kecil dalam jiwa bapak yang selalu berjuang melawan kerasnya dunia.
Bapak selalu berharap tunas-tunas yang ia tanam dapat tumbuh meski di celah-celah jalan berbatu sekalipun.
Fajar harapan muncul pertama ketika kakak pertamaku membuka usaha kuliner bersama rekan kerjanya. Saat itu aku masih kelas 3 SMP.
1-2 bulan hasilnya menjanjikan. Berbekal izin bapak dan ibu, ia pun memberanikan diri menggadaikan sertifikat rumah peninggalan kakek yang kami tempati untuk memperbesar usahanya.
Sebagian uang pinjaman itu digunakan bapak untuk memasukkanku ke SMA negeri dan membayar biaya daftar ulang kakak kedua-ku. Aku berhasil masuk sekolah dengan nyaman.
Baru pertama kali aku merasa bangga bisa memakai seragam sekolah, bersama teman-temanku yang sudah membayar lunas uang masuk SMA.