Wajahnya penuh senyum saat menjabat tangan ‘juniornya’ ini. Ucapan selamat memang keluar dari lisannya. Namun, egonya tidak terima, hatinya berteriak bahwa ia yang lebih pantas.
Bisikan-bisikan setan pun dianggap sebagai kata-kata hati. Rasa kecewa sudah membungkus hatinya. Pikirannya menjadi keruh, semangat bekerja hilang. Fulan yang dulu karyawan yang teladan sekarang menjadi karyawan ‘tenggo’.Â
Ini hanya satu contoh kejadian disekitar kita, dan masih banyak peristiwa serupa tapi tak sama terjadi. Tidak mudah menelan pil pahit bernama kenyataan.
Bahaya terlalu larut dalam kekecewaan
Tidak sedikit orang yang stress, depresi, bahkan memilih bunuh diri saat menghadapi realita yang mengecewakan.
Berbagai kejadian dan keputusan yang salah atau keliru menjadi penyesalan yang mendalam dan selalu terbayang.Â
Kesalahan atau kejadian di masa lalu pun kerap menghantui. Betapa tersiksanya hidup seperti ini.
Ketika angan dan mimpi sudah terlanjur menciptakan ilusi, bahwa semua berada dalam genggaman dan kontrol kita. Harapan sudah keburu membumbung tinggi, saat realita menghempas, jatuhnya teramat sakit.
Fisiknya tidak terluka, tetapi mentalnya berdarah-darah. Sehingga tidak jarang ada yang memilih opsi menyakiti diri, sebagai pelampiasan untuk menutup rasa sakit di dalam dada dan kepala.Â
Alih-alih mencari tenaga profesional untuk merawat luka di hati dan pikiran. Karena malu, anggapan bahwa orang yang berkunjung ke psikolog atau psikiater adalah mereka yang menjalani tes atau orang yang beranjak gila, terlalu melekat di benak masyarakat.
Ditambah lagi, tidak semua orang punya akses dan pemahaman untuk mengunjungi tenaga kejiwaan profesional.
Jika ia rasa pusing dan nyerinya sudah terlewat batas dan tidak tertahan, maka bunuh diri menjadi pilihan untuk mengakhiri semua penderitaan.