Hal ini sempat terjadi dengan salah satu brand besar yang salah memilih endorser, sudah demografi market yang dipilih tidak sesuai produk.
Lalu, ketika produk launching si endorser justru bersikap masa bodoh dengan produk yang dipromosikan.
f. Budget yang ditawarkan
Negosiasi antara endorser (atau manajernya endorser) dan brand mengenai angka susah gampang. Bisa nih jadi artikel terpisah malahan mengenai negosiasi. Angka rupiah bisa dilihat dari hasil kerja yang sudah pernah dia lakukan sebelumnya. Sehingga mungkin boleh dibilang, tidak ada angka yang mahal juga murah untuk memilih endorser yang asyik. Semua tergantung sudut pandang kita melihat.
Promosi yang akan kalian tawarkan, sebaiknya disesuaikan dulu dengan hasil yang ingin dicapai.
Misalnya, kalian hanya ingin meningkatkan brand awareness maka carilah endorser yang punya cita diri natural agar tidak terkesan seperti beriklan. Biasanya netizen akan tertarik dengan produk atau jasa yang direkomendasikan karena satu frekuensi. Namun, biaya yang ditawarkan endorser selaras dengan hasil. Cara ini sudah saya terapkan dan berhasil.
Sebaliknya, kalau brand hanya ingin menyampaikan informasi seperti billboard berjalan maka kriteria di atas bisa dilupakan sejenak karena yang dibidik adalah bagaimana promosi produk atau jasa kalian bisa tersebar dan viral. Relevansi pesan sama-sama tidak merugikan.
Bagi brand atau pemilik bisnis seharusnya juga menyiapkan budget digital marketing apabila ingin memakai jasa endorser. Kerjasama ini harapannya tidak ada cacat.
Tidak ada makan siang gratis, Bambang. Kadang endorser menerima karena mereka memikirkan kerjasama jangka panjang seperti suatu hari nanti bisa bekerjasama kembali atau menjadi teman. Semata-mata untuk menjaga hubungan baik dan positif.
g. Attitude
Kriteria endorser yang asyik sudah disebutkan di atas. Bagian akhirnya adalah attitude. Kita sepakat dulu kalau attitude itu nggak bisa dibeli. Banyak endorser sukses, besar dan dikenal oleh banyak orang tapi sayang tersandung di attitude.